Di daerah Palam, Cempaka, Banjarbaru, Kalsel kerajinan purun semula dipandang sebelah mata. Kenapa? Karena dianggap tidak bakal menghasilkan banyak duit.
“Dulu sebelum 2016 dihawai (tidak diperhitungkan dan diremehkan), sekarang banyak orang yang membuat purun karena jadi duit,” ujar Yuliani, anggota kelompok pengrajin purun Galoeh Bandjar, Selasa (19/9/2023).
Sejak 2016 Kelurahan Palam berkembang pesat menjadi kampung purun. Semula, bahan baku purun dalam bentuk mentah melayang ke luar daerah dibeli oleh pengrajin dari Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel.
“Warga Palam tidak dapat apa-apa. Atas gagasan pak Agustian, lurah Palam waktu itu, agar diolah jadi kerajinan, kehidupan warga mulai berubah,” katanya.
Pembuatan purun diajarkan oleh generasi tua ke generasi muda. Lahirlah aneka kerajinan bakul, tas, topi, tikar dan sebagainya. Palam berubah menjadi sentra industri kerajinan purun yang diperhitungkan.
Memasuki kampung Palam disambut oleh kelompok-kelompok usaha kerajinan seperti Galoeh Bandjar, Galuh Cempaka dan Al-Firdaus.
“Beberapa waktu lalu kami mengirim 550 pieces senilai Rp10 juta ke Bali,” ungkap Yuliani yang rumahnya di Jalan Purnawirawan Palam sekaligus gerai penjualan purun.
Gerai serupa dimiliki Mama Siti yang mengelola kelompok kerajinan purun Al-Firdaus. Aneka hasil kerajinan dari tas hingga sandal dipajang berdampingan dengan warung miliknya yang menjual kue dan makanan ringan.
“Pembeli dari luar daerah diantaranya Jakarta. Harga tas mulai dari Rp35 ribu sampai 300 ribu,” ujar Mama Siti.
Yuliani menduga pelanggannya yang asal Badung, Bali memasarkan lagi produk kerajinan purun yang bahan bakunya dari Danau Seran dan Danau Cermin itu ke Eropa.
“Tampaknya dijual lagi ke Eropa,” ujar wanita asal Handil Bakti, Kabupaten Batola, Kalsel yang tengah membangun ruangan baru untuk memperluas galerinya. JL