Setiap orang punya kesempatan yang sama untuk bisa meraih kesuksesan. Hanya saja, proses dan waktu tempuh yang dilalui setiap orang berbeda.
Namun, bicara soal kesuksesan tak bisa melupakan jejak perjalanan orang-orang dari bangsa Yahudi. Pasalnya, banyak penelitian mengungkap orang Yahudi memiliki peluang lebih besar untuk sukses. Hal ini didasari oleh banyaknya pencapaian tinggi mereka sepanjang sejarah dunia.
Selama abad ke-20, misalkan, orang Yahudi di Barat sukses menjadi tokoh intelektual dan menempati kelas tertinggi ekonomi. Lalu tak sedikit dari mereka yang sukses meraih penghargaan tertinggi ilmu pengetahuan, yakni Nobel.
Dalam kurun 1901-1962 saja, 16% pemenang Nobel sains adalah orang Yahudi. Sebut saja fisikawan tersohor keturunan Yahudi Albert Einstein peraih Nobel fisika tahun 1921.
Bahkan mengacu riset Paul Burstein dalam “Jewish Educational and Economic Success in the United States” (2007) secara spesifik menuliskan di Amerika Serikat, bangsa Yahudi tercatat lebih sukses secara ekonomi dan pendidikan dibanding kelompok bangsa dan ras lain.
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Apa resep rahasianya?
Perbincangan soal kesuksesan orang Yahudi sebenarnya sudah memantik rasa penasaran peneliti sejak lama. Menurut Richard Lynn dan Satoshi Kanazawa dalam “How to explain high Jewish achievement” (2008) setidaknya ada dua hipotesis untuk menjelaskan pencapaian tinggi mereka.
Pertama, orang Yahudi terbukti punya kecerdasan di atas rata-rata. Soal ini, pembahasan kita tarik mundur ke ratusan tahun lalu.
Keberhasilan orang Yahudi yang sukses dan punya pencapaian tinggi terjadi sudah sejak lama. Tak terhitung berapa banyak dari mereka yang berhasil menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan manusia.
Dari sini, banyak orang memandang mereka punya kecerdasan luar biasa. Sayangnya, pandangan itu diperoleh hanya dari pengamatan secara empiris dan pengukuran kualitatif.
Seperti diungkap oleh Jacobs dalam tulisan Jewish Contribution to Civilization (1919) yang menyebut, “Yahudi Jerman berada di puncak kesuksesan Eropa”. Dasar Jacobs menyampaikan hal demikian disebabkan murni oleh pandangan empiris yang melihat kesuksesan orang Yahudi di Eropa ketika itu.
Namun, akibat belum ada alat ukur berupa tes kecerdasan atau tes Intellectual Quotient (IQ), maka pernyataan tersebut belum tentu sahih.
Barulah saat tes IQ mulai berkembang di pertengahan abad ke-20, hipotesis yang menyebut orang Yahudi punya kecerdasan tinggi, salah satunya pernyataan Jacobs, bisa diperkuat dengan hasil tes tersebut. Hasil tes memang menunjukkan bahwa benar orang Yahudi punya kecerdasan di atas rata-rata.
Sedangkan alasan kedua, kesuksesan mereka didasari oleh nilai-nilai budaya yang kuat. Nilai budaya yang dimaksud Lynn dan Kanazawa adalah etos kerja untuk mengejar kesuksesan.
Bagi keluarga Yahudi, kesuksesan adalah hal mutlak yang harus diraih setiap anak di tiap generasi. Alhasil, tiap orang tua mengharuskan anak-anaknya untuk berprestasi. Mereka memberikan asupan gizi terbaik dan memberi motivasi supaya memiliki hobi membaca.
Sebab, mereka percaya kalau literasi adalah satu-satunya cara keluar dari kebodohan. Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh mereka berdasarkan kasus di era Kekhalifahan Islam Abbasiyah (750 M-1258 M).
Ketika itu, mengacu pada riset berjudul The Chosen Few: How Education Shaped Jewish (2012), mereka mengalami peristiwa traumatis berupa penghancuran kuil. Dari sini, mereka kemudian terpantik untuk bisa membaca dan melepas diri dari jeratan buta huruf.
Singkat cerita, saat sudah memiliki literasi mumpuni, mereka meninggalkan pekerjaan lama di sektor pertanian dan fokus di sektor literasi dan pendidikan.
Ketika menekuni sektor baru inilah mereka percaya kalau dua hal itu terbukti membuat sejahtera dari sisi pendapatan. Atas dasar inilah, kelak orang Yahudi sangat berorientasi pada pendidikan.
Tak cuma dua alasan itu saja, pendapat lain juga disampaikan sejarawan Jerry Z. Muller di Project Syndicate. Menurutnya, kesuksesan orang Yahudi juga berkaitan erat dengan diskriminasi yang selama ini mereka alami yang lantas berdampak pada dua hal.
Pertama, mereka jadi memiliki relasi kuat antar-Yahudi. Kelak, relasi ini menjadi pembuka rezeki. Mereka menjadi saling mengenal, bisa memulai pekerjaan dan bisnis baru.
Kedua, mereka menjadi belajar untuk mencari peluang baru yang tidak diminati banyak orang, sehingga bisa mengangkat derajatnya. Belakangan, mereka bakal menekuni pekerjaan sebagai pedagang atau menciptakan penemuan baru yang belum dipikirkan sebelumnya.
Soal kreasi penciptaan penemuan baru yang berkaitan dengan kreativitas, riset Paul Burstein dalam “Jewish Educational and Economic Success in the United States” (2007) menyebutkan, hal ini bisa terjadi karena mereka skeptis terhadap ide-ide konvensional lokal yang ditumbuhkan di tempat mereka tinggal.
Jadi, saat tidak mau menggunakan ide-ide tersebut, otak imigran Yahudi langsung berpikir kreatif menciptakan cara baru yang kelak merangsang kreativitas dan kecerdasan intelektual. Nantinya, semua itu berujung pada kesuksesan di bidang ekonomi.
Setidaknya itulah beberapa resep rahasia kesuksesan ala orang Yahudi.
Cara-cara itu sebenarnya bisa ditiru oleh semua orang. Sebab, untuk meraih kesuksesan dan kekayaan kita perlu banyak belajar dari orang lain, apapun suku bangsa, agama atau etnisnya. (Muhammad Fakhriansyah)
Source : CNBC Indonesia