Pagi hari yang cerah pada Rabu 22 Januari 2003, Rachel Aliene Corrie (23) melakukan penerbangan perdananya ke Timur Tengah.
Dia terbang dari Seattle, Amerika Serikat ke Yerussalem Timur. Maksud kedatangannya untuk melakukan riset skripsi tentang kota kembar (sister city) antara Olympia, AS, dan Rafah, Palestina.
Sayangnya, Rachel datang di waktu yang tidak tepat. Kala itu, sedang terjadi peningkatan eskalasi konflik antara Israel-Palestina yang kemudian dikenal sebagai Intifada II.
Siapapun tahu bahwa keberadaan sipil yang juga warga negara asing di tengah konflik sangat beresiko. Nyawa taruhannya.
Namun, tetap saja itu tak memundurkan langkah Rachel. Dia tetap ingin ke Rafah. Terlebih, dia juga tergabung dalam gerakan International Solidarity Movement (ISM) sebagai aktivis pro-Palestina. Berbagai resiko jelas diketahuinya dengan baik.
Saat tiba di Palestina, Rachel diikutsertakan dalam berbagai pelatihan. Baru setelahnya dia melaksanakan misi penelitian dan advokasi pro-Palestina. Dia tinggal di Rafah di sebuah kemah bersama para aktivis lain yang menurut hukum internasional tidak boleh diserang dan diintimidasi.
Meski begitu, larangan tersebut dilanggar oleh militer Israel. Pada hari pertama tinggal di Rafah, sniper Israel langsung menembaki kemah tempat tinggal Rachel tanpa alasan jelas. Beruntung, Rachel bisa selamat. Sejak itulah, sebagai bentuk pembalasan, Rachel berupaya melawan mereka dengan menjadi perisai hidup rakyat Palestina.
Dalam laporan New York Times diketahui Rachel selalu berdiri paling depan menentang operasi militer Israel dan berbagai penindasan lain. Dia lantang bersuara menggunakan toa untuk menahan laju tentara.
Bahkan dalam salah satu surat kepada orang tuanya yang dihimpun The Guardian, dia juga pernah menyebut mantan Presiden AS George Bush sebagai orang gila disertai pembakaran bendera Amerika Serikat sebagai bentuk protes atas Invasi AS ke Iraq pada Februari 2003.
Namun, perjuangan Rachel yang selalu dikenang terjadi pada 16 Maret 2003. Pada hari itu, dia diberi tugas untuk menjaga sumber-sumber air rakyat Palestina. Pasalnya, selama seminggu terakhir, militer Israel rutin melakukan inspeksi dan menghancurkan sumber air menggunakan buldoser. Tak jarang juga, buldoser itu digunakan untuk meratakan rumah penduduk. Tentu saja itu semua dilakukan untuk mematikan rakyat Palestina.
Perjuangan menjaga sumber air mendapat perlawanan hebat dari militer Israel. Mengutip Mother Jones, militer Israel menyerang Rachel dan para aktivis dengan granat dan gas air mata. Serangan itu pada akhirnya berhasil membuat mereka melemah.
Di titik nadir aktivis inilah tentara Zionis menggerakkan buldoser. Ketika hendak meruntuhkan rumah, Rachel bangkit dan pasang badan. Perempuan berusia 23 tahun itu meminta buldoser berhenti. Dia berada di tengah jalan, hendak menghalangi gerak buldoser.
Sialnya, buldoser itu tak mau berhenti. Alhasil, Rachel yang berada di jalur buldoser, otomatis terlindas. Kendaraan seberat ribuan kilogram itu menggiling badan Rachel dari kepala hingga kaki. Rachel tumbang dan langsung dibawa ke rumah sakit.
Namun, dengan fakta mengerikan itu siapapun mengetahui kalau nyawa Rachel sulit diselamatkan. Benar saja, menurut The Guardian, tak lama setelah tiba di rumah sakit, dokter setempat menyatakan Rachel meninggal pukul 5.20 dengan kondisi pendarahan parah. Riwayat perjuangan Rachel pun berhenti pada 16 Maret 2003.
Kendati ada bukti bahwa buldoser melindas Rachel hidup-hidup, otoritas Israel menolak bertanggungjawab. Mengutip The Independent, mereka berdalih kejadian tersebut adalah kecelakaan yang kemudian pernyataan ini dikuatkan pengadilan. (Muhammad Fakhriansyah)
Source : CNBC Indonesia