Ini adalah kisah Pitung. Dia adalah jagoan dan tokoh legendaris dari tanah Betawi.
Dia melawan sistem kolonial lewat perampokan, dan membagikan hasil rampokan itu ke rakyat miskin yang membutuhkan.
Bagaimana ceritanya?
Di era penjajahan Belanda, terlihat ketimpangan jelas antara penduduk pribumi dengan warga kelas atas, baik itu orang Eropa atau pribumi kaya raya.
Mereka yang tajir secara nyata melakukan eksploitasi terhadap penduduk pribumi. Alhasil, kondisi rakyat pribumi pun makin sengsara. Sementara warga kelas atas makin sejahtera.
Beranjak dari kondisi inilah, pemuda Betawi bernama Pitung tergerak hatinya untuk melakukan perlawanan.
Sehari-hari dia yang turut merasakan hal itu kesal dan muak melihat tanah Betawi dieksploitasi pemerintah kolonial dan justru tidak dimiliki oleh orang Betawi itu sendiri.
Sebagaimana diceritakan Petrik Matanasi dalam Para Jagoan (2011), Pitung adalah pemuda dari Rawa Belong yang lahir pada 1864. Dia memiliki guru bernama Haji Naipin yang senantiasa mengajari ngaji dan ilmu bela diri. Ilmu bela diri yang diajarkan bernama aliran syahbandar.
Berkat ajaran Haji Naipin, Pitung lambat-laun sangat jago ngaji dan silat. Pertarungan pertama dilakukan terhadap para penjahat yang pernah membegalnya di Tanah Abang. Di momen ini, Pitung sukses mengalahkan para begal.
Menariknya, usai meraih kemenangan, Pitung malah mengajak begal tersebut berteman. Mereka kemudian merumuskan rencana balas dendam untuk melakukan perampokan.
Menurut Margreet Van Till dalam “In Search of Si Pitung; The History of an Indonesian Legend” (1996), Pitung tidak merampok rakyat miskin dan hanya melakukan serangan terhadap para orang kaya dan pemilik tanah saja. Biasanya para orang kaya itu adalah pejabat kolonial dan pedagang.
Perampokan pertama Pitung terjadi pada Juni 1892 terhadap orang kaya di daerah Sukabumi. Media kolonial pun menyoroti tindak kejahatan ini yang membuat nama Pitung tenar di masyarakat dan kepolisian yang memburunya.
Meski begitu, hasil perampokan tak cuma dimakan oleh Pitung sendiri. Diketahui setelah melakukan perampokan, pemuda Rawa Belong itu membagikan barang-barang jarahan kepada rakyat miskin. Tiap keluarga miskin diberi sekarung beras dan santunan. Lalu untuk anak yatim piatu dikirimi baju dan hadiah lain.
Atas sikap baik inilah Pitung pun dikenal sebagai penjahat yang baik. Warga pribumi pun turut bersimpati kepadanya. Mereka tutup mulut saat diinterogasi kepolisian supaya Pitung tak ditangkap.
Praktis, sikap simpati warga pribumi membuat kepolisian kesulitan mencari jejak Pitung. Terlebih, dia susah ditangkap. Konon, dia juga kebal peluru karena selalu bangkit dan melakukan perlawanan tiap kali ditembak kepolisian.
Pada akhirnya, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Begitu juga Pitung. Pada 1893, Pitung berhasil ditangkap kepolisian.
Menurut Petrik Matanasi, hal ini bisa terjadi karena polisi melakukan penyiksaan terhadap para warga lokal. Para warga yang tak tahan hidup di bawah penyiksaan akhirnya menyerah. Mereka buka suara dan menunjukkan lokasi keberadaan Pitung.
Saat disergap kepolisian, Pitung melakukan perlawanan. Terjadilah aksi tembak-menembak. Sayangnya, kali ini Dewi Fortuna tak berpihak kepadanya.
Seorang polisi bernama Schout Hinne yang selalu memburu Pitung sukses menembak penjahat itu di bagian dada dan pinggang. Pitung seketika roboh dan dia pun ditangkap untuk dibawa ke Balai Kota. Di perjalanan, darah Pitung terus keluar deras. Pitung sekarat.
Setibanya di Balai Kota, Pitung meninggal dunia. Dia pun dikuburkan di kawasan Krekot. Sejak itulah, jejak Pitung resmi berakhir. Meski demikian, Pitung terus hidup dalam memori kolektif masyarakat karena dianggap penjahat heroik pembela orang Betawi.
Source : CNBC Indonesia