Ulama Mesir penasaran. Ia ingin tahu buah seperti apa yang ada di tanah asal Abdul Hamid Habulung. “Kalau di sana buah-buahannya apa?” ujar tuan rumah memecah kesunyian.

Abdul Hamid : “Sebelum dimakan sudah kenyang dan kulitnya sangat membahayakan.”

Ulama Mesir ingin sekali membuktikan dan mencicipi buah ajaib tersebut. Ia pun berpesan jika Abdul Hamid nanti pulang agar ia dibawakan buah itu.

Setelah pembicaraan itu, Abdul Hamid mengucapkan permisi dan meminta izin untuk mengerjakan shalat dua rakaat. Ia berdoa. Dua biji durian seketika berada di tangan kanan dan kirinya.

Buah durian pun dibagikan untuk dinikmati bersama oleh seisi rumah sang ulama Mesir. Ulama Mesir mengakui sebelum dimakan aroma buah durian yang menyengat tiada tara membuat “kenyang” orang yang ingin menyantapnya, sedang kulit buahnya yang penuh duri sangat berbahaya jika terkena tangan.

Ulama Mesir bertanya apa maksud sebenarnya kedatangan Abdul Hamid. Abdul Hamid menjawab kepergiannya ke Mesir dengan dua tujuan. Pertama ingin bertemu guru besar, kedua mencari Allah SWT.

Ulama Mesir : “Hajat kamu yang pertama sudah terkabul. Adapun mengenai yang kedua, sebelum engkau cari sudah bertemu. Karena segala sesuatu beserta Allah SWT.”

Abdul Hamid Habulung pun pulang ke Tanah Banjar.

Di zaman itu di kampung tempat tinggal Abdul Hamid banyak diadakan keramaian berupa permainan ketangkasan dan olahraga. Ada sabung ayam, sepak takraw dan aneka lomba permainan lainnya.

Setiap Abdul Hamid ikut bertanding tak ada yang sanggup mengalahkannya. Abdul Hamid selalu menjadi pemenang. Kejayaan ini membuat nama Abdul Hamid termasyhur. Bahkan kabar kehebatannya sampai ke kerajaan Banjar yang kala itu pusat pemerintahannya di Kota Martapura.

Kejayaan Abdul Hamid dilaporkan oleh para punakawan kepada raja Banjar. Namun laporan ini dilebih-lebihkan. Mereka mengatakan dengan segala kejayaan dan kesaktiannya suatu saat Abdul Hamid akan mengincar tahta raja. Selama ada Abdul Hamid posisi raja tidak akan aman. Bukan tidak mungkin suatu saat Abdul Hamid akan menjadi raja menggantikan kedudukan Sultan Tamjidillah, demikian bisik para punakawan.

Raja terpengaruh dan menugaskan prajurit membawa Abdul Hamid ke hadapannya untuk diadili. Terjadillah dialog yang terkenal itu (mirip dialog Syekh Siti Jenar dengan Wali Songo di Pulau Jawa).

Dipanggil untuk menghadap oleh utusan raja yang menemuinya, dengan tegas Abdul Hamid berkata: “Abdul Hamid tidak ada, Allah SWT saja yang ada.” Utusan pulang tak membawa hasil.

Raja kembali mengirim utusan menemui Abdul Hamid dengan pesan Tuhan dipanggil oleh raja. Abdul Hamid berkata: “Allah SWT tidak ada, Abdul Hamid saja yang ada.” Untuk kedua kalinya utusan pulang dengan tangan kosong alias gagal membawa Abdul Hamid ke hadapan raja.

Raja selanjutnya memerintahkan agar keduanya (Abdul Hamid dan Allah SWT) disuruh menghadap. Abdul Hamid akhirnya bersedia pergi dibawa menghadap raja.

Abdul Hamid pun ditanya raja kenapa sebelum ini diperintah menghadap tidak mau datang. Abdul Hamid menjawab: “Abdul Hamid tidak bisa datang karena ia tak dapat berjalan kalau tidak beserta Allah SWT. Allah SWT tak datang karena kalau Allah SWT datang mereka tidak akan melihat-Nya.” Pihak kerajaan tidak dapat menjawab argumen Abdul Hamid.

Abdul Hamid pun dijamu makan oleh kerajaan. Ia diperlakukan bak tamu penting kerajaan. Namun, di samping itu siasat untuk menangkap Abdul Hamid telah disusun. Kerangkeng besi untuk menangkapnya digantung tepat di atas kepala Abdul Hamid.

Anehnya, ketika para prajurit berniat melepas tali perangkap, kerangkeng justru tetap di tempatnya seolah-olah macet. Dan, ketika Abdul Hamid keluar dari ruang perjamuan, kerangkeng besi itu tiba-tiba jatuh sehingga membuat berantakan seisi kamar raja.

Raja gusar. Abdul Hamid ditangkap dan dijatuhi hukuman seumur hidup. Abdul Hamid direndam ke dalam sungai, dengan tubuh terikat dan terkurung dalam kerangkeng besi.

Lama direndam, Abdul Hamid telah dianggap mati. Karena belum tiba takdirnya dijemput malaikat maut, Abdul Hamid muncul di daerah Teluk Pakacangan, Amuntai (sekitar 140 Km dari tempat ia dihukum rendam di ibukota kerajaan Martapura). Ia dikabarkan hidup lagi di Kampung Tangga Ulin, di mana masyarakatnya mempunyai pekerjaan sebagai penangkap ikan. (YA/Bersambung)