Lama direndam, Abdul Hamid Habulung telah dianggap mati. Karena belum tiba takdirnya dijemput malaikat maut, Abdul Hamid muncul di daerah Teluk Pakacangan, Amuntai (sekitar 140 Km dari tempat ia dihukum rendam di ibukota kerajaan Martapura). Ia dikabarkan hidup lagi di Kampung Tangga Ulin, di mana masyarakatnya mempunyai pekerjaan sebagai penangkap ikan.

Abdul Hamid yang merupakan orang asing di daerah itu dengan tabiatnya yang tidak biasa membuat para penangkap ikan diam-diam melakukan pengintaian.

Dari kejauhan para penangkap ikan yang berjumlah 7 orang itu terperangah dengan keganjilan perbuatan Abdul Hamid. Masalahnya, Abdul Hamid melakukan shalat di atas air dan tubuhnya tidak basah.

Tiga hari tiga malam mereka mengintai perbuatan Abdul Hamid. Menyaksikan ulah Abdul Hamid mereka sepakat bahwa Abdul Hamid pasti orang istimewa dan lalu menemuinya untuk berguru.

Abdul Hamid berkata: “Aku dihukum sesat oleh raja.” Tapi ketujuh orang penangkap ikan mengatakan Abdul Hamid adalah orang benar.

Abdul Hamid akhirnya bersedia menerima mereka sebagai murid tetapi sebelumnya ia meminta mereka untuk mencari 3 orang lagi agar jumlahnya genap 10 orang. Versi lain menyebutkan, jumlah murid Abdul Hamid sebenarnya cuma 9 orang, 1 orang lagi ikut belajar secara diam-diam dari balik tebing.

Kabar masih hidupnya Abdul Hamid akhirnya sampai juga ke telinga raja di Martapura. Kerajaan geger. Mungkin untuk memberikan pelajaran kepada orang banyak, Abdul Hamid akhirnya dengan sukarela menyerahkan diri kepada raja.

Vonis dijalankan. Ia dihukum mati. Sekali lagi, tak ada senjata yang mampu melukai tubuh Abdul Hamid. Hingga Abdul Hamid sendiri akhirnya yang membuka rahasia dengan alat apa ia bisa dimatikan. Oleh algojo kerajaan ia ditikam dengan sukin (sejenis badik), setelah diberi tahu oleh Abdul Hamid.

Saat pelaksanaan eksekusi, terjadilah kehebohan ketika darah di tubuhnya mengalir yang membentuk tulisan “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.” Timbul pro dan kontra tentang cara kematian Abdul Hamid. Pendapat masyarakat pun terbagi dua, ada yang menyatakan ia sesat dan telah keluar dari agama, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai seorang wali, manusia suci.

Kerajaan Banjar Tenggelam

Konon ceritanya, murid-murid Abdul Hamid lah yang pernah menunjukkan jalan (menginformasikan) kepada Belanda di mana raja Banjar bertempat tinggal. Tindakan itu sebagai balasan kepada pihak kerajaan Banjar yang telah menghukum bunuh guru mereka. Akibatnya raja Banjar lari bersembunyi ke pedalaman. Kejadian Kerajaan Banjar akan kehilangan kekuasaan diungkapkan Abdul Hamid ketika ia akan dibunuh. “Kerajaan Banjar tidak akan timbul lagi,” ucap Abdul Hamid.

Makam Abdul Hamid di Habulung, Sungai Batang Martapura kini sering diziarahi orang-orang tertentu. Mereka umumnya adalah keturunan dari anak-anak cucu 10 murid-murid Abdul Hamid ketika ia hidup di Tangga Ulin, Amuntai. Peziarah lainnya adalah orang-orang yang bersimpati kepada tokoh yang pernah membuat sejarah di Kerajaan Banjar ini.

Setahun sekali, keluarga besar (murid-murid dan anak cucu keturunan pewaris ilmu Abdul Hamid) mengunjungi makam Abdul Hamid (Datu Habulung) untuk melakukan ziarah. Waktunya pada hari pertama Hari Raya IdulAdha, kemudian malamnya diadakan haul dengan memasak nasi kabule.

Abdul Hamid dibunuh karena pahamnya dianggap sesat, menyalahi syariat hukum Islam. Datu Habulung diputuskan halal dibunuh setelah raja menerima fatwa Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari).

Hingga kini, di kalangan anak cucu keturunan murid-murid Abdul Hamid mempercayai bahwa kejatuhan Kerajaan Banjar di Martapura karena kesalahan kepada Datu Habulung. (YA/Tamat)