Pada suatu masa, pernah berdiri sebuah kerajaan tua di pedalaman Kalimantan. Namanya Kerajaan Tanjung Tabalong Raya.

Pusat negeri pemerintahannya tidak diketahui pasti. Sang raja mangkat, dan permaisuri menggantikannya bertahta dengan gelar Ratu Bagalung.

Kerajaan Tanjung Tabalong Raya telah sirna ditelan bumi. Rombongan pendatang bangsa asing datang memasuki banua Bumi Kencana (Kalimantan) menaklukkan Kerajaan Tanjung Tabalong Raya dan mendirikan kerajaan baru.

Dalam cerita rakyat Tanah Dusun Atas dan Banua Lawas, Ratu Bagalung berlindung di belantara bersama tiga orang wanita kepercayaannya (Tri Wanita) yang bertugas sebagai Kepala Urusan Rumah Tangga Istana Ratu Bagalung. Rupa wajah ketiganya mirip dengan Ratu Bagalung. Ketiga suami wanita muda ini tewas dalam suatu perang antar suku di belahan Banua Atas.

Bangunan dan alat perlengkapan istana Ratu Bagalung terbuat dari kayu ulin dan kayu tanjung. Tangga dan titian serta anjungan pelidangan dapur terbuat dari kayu ulin. Dalam galangan mandala Tanjung Tabalong mereka bersembunyi sambil berjaga demi keselamatan Ratu Bagalung.

Ratu Bagalung dan semua rakyat penduduknya tiada lagi. Hanya saja ada berita bahwa setiap orang asing datang ke banua, kelak mereka pun akan juga kembali sirna. Karena menduduki galangan mandala orang hukumnya bencana: bencana batang tubuh, bencana anak negeri dan bencana kerajaannya.

Artum Artha dalam Agenda Seni-Budaya Sasangga Kabudayaan Banjar menulis : “Entah kemana perginya rakyat kerajaan Tanjung Tabalong Raya. Apakah dikalahkan oleh pasukan Empu Jatmika atau menghilang berdiam di hutan belantara sampai ajal menjemput. Semuanya tetap menjadi misteri hingga kini.”

“Sisa peninggalan kerajaan Ratu Bagalong itu menurut berita masyarakat di pahuluan Ampah dan sekitarnya hanya dirasakan oleh orang-orang tua. Sesekali terdengar hembusan nafas melalui angin malam. Sesekali seperti orang mengetuk pintu atau dinding rumah.” AH