Menyusuri kawasan Jalan Antasan Kecil Timur Dalam Banjarmasin ibarat mengurai kembali cerita Banjar tempo doeloe.

Di sepanjang kawasan ini dijumpai sejumlah makam-makam tua orang-orang Banjar zaman dulu yang identitasnya nyaris tak dikenali lagi oleh sejarah. Salah satunya adalah keberadaan Ronggo Tanu Karsa.

Menyebut nama Ronggo yang terbayang adalah nama-nama pesohor tempo dulu seperti Ronggolawe (bupati Tuban pada era Kerajaan Majapahit) dan Ronggo Warsito (pujangga besar dari Kraton Solo).

Hingga ketika membicarakan nama Ronggo segelintir warga Banjar pun dengan tanpa pikir panjang menduga bahwa Ronggo adalah keturunan Jawa.

“Itu Datu Pangeran Tanu Karsa,” ujar Husni, keturunan Kiai Ronggo Temenggung Tanu Karsa tentang foto-foto yang terpampang di dinding ruang tamunya ketika ditemui di kediamannya di kawasan Kelurahan Antasan Kecil Timur.

Menurut catatan, Tanu Karsa adalah salah satu tokoh penting dari kalangan pribumi Banjar yang menduduki jabatan tinggi saat kekuasaan Belanda masih bercokol kuat.

Bersama Pangeran Ahmid bin Sultan Sulaiman, Pangeran Syarif Husin bin Muhammad Baharun dan sejumlah tokoh lainnya mereka adalah anggota Pengadilan Umum Perdata dan Pidana bentukan pemerintah kolonial Belanda di sekitar tahun penghapusan kesultanan Banjar (oleh Belanda) tahun 1860.

Sebutan lengkapnya Kiai Ronggo Temenggung Tanu Karsa. Ronggo adalah kepala orang-orang Banjar pada zaman Belanda. Lebih kurang seperti jabatan Walikota saat ini. Pangkat sederajat Ronggo tapi untuk golongan warga Arab dan Cina pada masa itu adalah Kapten Arab dan Kapten Cina.

“Setelah datuk, anak cucunya tidak dibolehkan lagi memakai gelar (kebangsawanan Banjar seperti Pangeran dan Gusti). Takut nanti disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Keluarga kami juga punya pantangan tidak boleh makan ikan patin dan pisang emas,” ujar Husni.

Soal pantangan tidak memakan ikan patin tersebut, menurut dia, karena pernah pada suatu saat datunya selamat dari pengejaran Belanda yang bermaksud melakukan penangkapan. Sekumpulan ikan patin yang tengah berenang dan mengeluarkan suara bergemuruh membuat Belanda tak menyadari keberadaan Tanu Karsa yang bersembunyi di sekitar ikan-ikan patin itu.

Pada tahun 1864 ketika Kuin dijadikan daerah istimewa dengan penguasa tertinggi Controleur OM de Minicle, Tanu Karsa masih menjabat Ronggo Banjarmasin, sedangkan Mufti dipangku H Moh Amin, dan Penghulu dijabat H Moh Aboe Sohot.

Kantor pusat pemerintahan Tanu Karsa di wilayah Sungai Miai-Kuin tak jauh dari rumahnya di muara Sungai Miai. Rumah kediaman Tanu Karsa di lokasi bangunan rumah tua yang pernah dijadikan kantor Kelurahan Antasan Kecil Timur.

“Dulu di belakang rumah itu ada rumah besar panjang,” kata salah satu keturunannya.

Makam Tanu Karsa pun tak jauh dari belakang rumahnya. Alkah keluarga besar Datu Ronggo berdekatan dengan kompleks SDN Antasan Kecil Timur 3 Banjarmasin. YA