Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dilahirkan pada tahun 1122 H atau 1710 H di Desa Lok Gabang, Martapura.
Pada waktu berumur kurang lebih 8 tahun ia dipungut oleh Sultan Banjar untuk diasuh dan dididik di istana. Kemudian ia dikawinkan dan menjelang umur 30 tahun diberangkatkan belajar memperdalam ilmu agama Islam di Mekah.
Ramli Nawawi dalam Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Penyebar Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah Abad ke-18 di Kalimantan Selatan, menyebutkan Muhammad Arsyad tiba kembali di Martapura ibu kota Kerajaan Banjar pada bulan Ramadhan tahun 1186 H (1772 M) setelah memperoleh kealiman khusus dalam ilmu Tauhid, ilmu Fiqh, ilmu Falaq dan ilmu Tasauf.
Usahanya dalam menyebarkan Islam di daerah Kerajaan Banjar pada waktu itu dimulai dengan melakukan pengajian, kemudian menyebarkan anak cucunya (murid-muridnya) ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan Selatan, di samping itu menulis kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu Banjar dan aksara Arab.
Sistem pengajian yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad mula-mula mengajari 2 orang cucunya yang bernama Muhammad As’ad dan Fatimah, sehingga dalam waktu yang tidak lama keduanya mewarisi kealimannya. Keduanya pun kemudian membantu usaha kakeknya.
Dalam Syajaratul Arsyadiah disebutkan bahwa Muhammad As’ad kemudian menjadi guru sekalian murid laki-laki, dan Fatimah menjadi guru sekalian murid perempuan.
Zafry Zamzam dalam Riwayat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, mengemukakan pengajian yang diselenggarakan oleh Syekh Muhammad Arsyad bukan semata-mata belajar ilmu pengetahuan agama, tetapi disertai bekerja bersama dan memasuki kehidupan masyarakat melalui kegiatan bertani.
Sistem pengajian yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad tersebut merupakan perwujudan dari ajarannya yang menyeimbangkan antara ”hakekat” dan ”syari’at”. Sehingga dengan demikian segala peristiwa dalam kehidupan ini tetap terjadi menurut hukum sebab dan akibat.
Bukti besarnya perhatian Syekh Muhammad Arsyad dalam usaha pertanian tersebut adalah telah diwariskannya sebuah saluran air sepanjang kurang lebih 8 km yang digali atas gagasan dan pimpinannya. Saluran itu untuk mengalirkan air yang menggenangi tanah luas (baruh), sehingga baruh tersebut bisa dijadikan lokasi persawahan yang subur. Saluran air itu sekarang dikenal dengan nama ”Sungai Tuan”, artinya sungai yang penggaliannya digariskan oleh Tuan Guru Haji Besar, yakni gelar dari Syekh Muhammad Arsyad.
Kegiatan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari membimbing dan melatih anak didiknya dalam lapangan pertanian tersebut merupakan tindakan untuk memberi bekal anak didiknya untuk bisa menyusun penghidupan kelak.
Dipilihnya lapangan tersebut dapat dikaitkan karena murid-muridnya tersebut umumnya berasal dari keluarga petani, sehingga kemanapun nantinya mereka tinggal dan berkeluarga mereka akan menemui jenis usaha tersebut, terutama dalam daerah Kalimantan Selatan sebagai daerah agraris.
Selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad menempuh suatu cara untuk menyebarkan sistem pengajian tersebut dengan mengharuskan setiap anak cucu dan muridnya yang telah mencapai kealiman untuk hidup berkeluarga dan tinggal menyebar ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Di mana mereka tinggal maka di tempat itupun kemudian berlangsung pula pengajian-pengajian.
Demikianlah kemudian pengajian-pengajian yang diselenggarakan anak cucu Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya terdapat di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga terdapat di Pontianak Kalimantan Barat. Bahkan ada cucu beliau yang bernama Syekh Haji Abdurrakhman Siddiq yang menyelenggarakan pengajian sambil melakukan pembukaan tanah pertanian /perkebunan di Sapat-Tembilahan (Riau).
Cara penyebaran ajaran Islam dengan menganjurkan anak cucu dan murid-muridnya yang telah mencapai kealiman untuk tinggal dan kawin mawin di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota Kerajaan Banjar waktu itu dapat dilihat dari: Cucu beliau yang bernama Syekh Muhammad As’ad, yang kemudian juga diangkat sebagai Mufti pertama di Kerajaan Banjar, kawin dengan seorang perempuan Desa Balimau di Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).
Alimul Alamah Haji Abu Talhah bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Pegatan (Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel). Alimul Alamah Haji Abu Hamid bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Pontianak Kalbar. Alimul Alamah Haji Ahmad beristeri dan mengajar di Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai Utara), kemudian juga di Desa Balimau- Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel). Alimul Alamah Haji Muhammad Arsyad bin H. M. As’ad beristeri dan mengajar di Desa Muara Sungai Pamintangan-Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel). Alimul Alamah Haji Muhammad Thaib (Haji Sa’duddin) beristeri dan mengajar di Desa Hamawang-Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).
Seperti disebutkan di atas bahwa disamping menyelenggarakan pengajian Syekh Muhammad Arsyad dalam usaha penyebaran ajaran Islam juga telah menulis beberapa buah kitab agama dalam bahasa Melayu Banjar dengan aksara Arab.
Kitab-kitab karya Syekh Muhammad Arsyad tersebut dapat di golongkan atas 3 kelompok:
Kitab-kitab Tauhid, yang bertujuan memantapkan keyakinan Iman dan Aqidah yang benar. Kitab-kitab tersebut adalah: a. Kitab Ushuluddin, b. Kitab Tuhfatur Raghibin.
Kitab-kitab Fiqh, yang membicarakan masalah-masalah ibadah dan amaliah, yakni tentang segala tindakan manusia baik yang mempunyai hubungan dengan Tuhan ataupun sesama manusia. Kitab-kitab ini adalah: a. Kitab Sabilall Muhtadin lit Tafaqquh fi Amriddin, b. Kitabun Nikah, c. Kitabul Faraid, d. Kitab Nustatul Ajlan, e. Kitab Hasyiah Fathil Jawab.
Kitab-kitab Tasauf, untuk mendapatkan kedamaian bathin dalam berhubungan dengan Tuhan. Kitab-kitab ini adalah: a. Kitab Kanzul Ma’rifah, b. Kitab Al Qaulul Mukhtashar.
Demikianlah dari sejumlah karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang kemudian telah tersebar luas hingga ke beberapa negara di Asia Tenggara tersebut, dapat diukur sampai dimana andil beliau dalam mengembangkan dan menyebarkan ajaraan-ajaran Islam.
Ulama besar Banjar yang dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari meninggal dunia pada tahun 1227 H (1812 M) dan dimakamkan di Desa Kalampayan-Martapura (Kabupaten Banjar, Kalsel), dengan meninggalkan barisan ulama sebagai kelompok sosial yang mempunyai kedudukan khusus dalam masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. (HRN/YA)