Masyarakat Tionghoa dikenal pandai berbisnis hingga sukses dan kaya raya. Atas dasar inilah, banyak orang ingin meniru langkah mereka.
Menariknya, kesuksesan mereka berbisnis bukan cuma karena perhitungan ekonomis. Tetapi juga berkat menjalani hal dasar seperti menghormati leluhur dan orang tua atau dalam konteks lebih luas menghormati keluarga.
Irene dan Rosalie dalam Achieving Business Success in Confucian Societies: The Importance of Guanxi (Connections) (2016) mencoba menjelaskan hal ini. Bagi masyarakat Tionghoa keluarga adalah segalanya.
Dalam pandangan tradisional China, berhasil mengharumkan nama keluarga adalah kejayaan luar biasa. Maka, tiap orang tua pasti akan mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai kebajikan agar generasi selanjutnya dapat menjaga atau membesarkan kejayaan keluarga.
Apabila awalnya hidup susah, setiap orang Tionghoa bakal berjuang lebih keras agar anak-anaknya tak merasakan yang sama. Caranya bisa dengan menyekolahkannya atau memberi pelajaran-pelajaran non formal.
Jika perubahan bisa tercapai, maka satu keluarga bisa berjaya dan bahagia. Atas dasar inilah, dalam konteks bisnis misalkan, banyak bisnis yang dikendalikan oleh satu keluarga Tionghoa dari generasi ke generasi.
Sedangkan, apabila kesuksesan sudah tercapai, maka tugas generasi selanjutnya diharuskan menghormati leluhur dan orang tua. Mereka tidak boleh menjelek-jelekan para leluhur.
Jika sudah sukses diharuskan pula untuk membangun kampung halamannya. Apabila tidak dilakukan, dikhawatirkan kehidupannya akan sulit dan tidak berkah.
Atas dasar ini juga, apabila membaca kisah-kisah orang sukses dari etnis Tionghoa, hampir seluruhnya melakukan hal ini. Pengusaha Sudono Salim, misalkan.
Dalam karya Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016) dijelaskan, bahwa Salim saat sudah sukses menjadi pengusaha bersumbangsih besar bagi kemajuan tanah leluhurnya di Fujian, China. Dia bolak-balik Indonesia-Fujian buat berziarah atau memberi bantuan untuk tanah kelahirannya.
Begitu pula pengusaha Mochtar Riady. Lewat autobiografinya berjudul Manusia Ide (2016), Bos Lippo Group itu bercerita soal pengabdiannya pada kampung halaman di China.
Pengabdian ini dilatarbelakangi oleh ucapan neneknya semasa kecil yang memberi saran untuk tidak lupa leluhur dan kampung halaman. Alhasil, Riady yang sempat jadi Direktur BCA itu, sempat kembali ke tanah kelahirannya di Putian untuk mengatasi kemiskinan dan memajukan daerah tersebut sekitar tahun 1990-an.
Source : CNBC Indonesia