Sebanyak 11 guru besar ULM diperiksa lantaran diduga melakukan sejumlah pelanggaran akademik berkaitan dengan gelar mereka.

Guru Besar Korban Permainan Politik
Oleh: Fachrur Rozy

Melalui media massa seperti Majalah Tempo (07/07/24) dengan judul Cara Dosen Universitas Lambung Mangkurat Merekayasa Syarat Guru Besar, dan Harian Banjarmasin Post masyarakat membaca bahwa guru besar Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat memperoleh jabatan fungsional guru besar tersebut dengan melakukan pelanggaran akademik.

Hal ini misalnya BPost (09/07/24) dengan tajuk berita Rektorat ULM Siap Ambil Tindakan. Dengan anak judul Bentuk Tim Pemeriksa 11 Guru Besar menulis “FH ULM sedang disorot Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sebanyak 11 guru besarnya diperiksa lantaran diduga melakukan sejumlah pelanggaran akademik berkaitan dengan gelar mereka.”

Opini di masyarakat melalui WhatsApp berkembang dan liar. Intinya, lewat opini itu mereka dihakimi tanpa bisa membela diri. Pertanyaannya: bagaimana proses pengajuan jadi guru besar itu? Ada tiga filter.

Filter pertama adalah tim fakultas yang memeriksa berkas-berkas yang mereka lampirkan untuk memperoleh jabatan fungsional akademik. Jika berkas mereka dianggap memenuhi syarat maka berkas tersebut diteruskan ke universitas. Di universitas berkas ini diperiksa, diverifikasi keabsahannya. Jika oke, maka berkas tersebut diteruskan ke dirjen dikti yang memeriksa pula kelengkapan berkas dan keabsahan segala sesuatunya. Termasuk apakah jurnal-jurnal yang memuat artikel ilmiah itu adalah jurnal yang memenuhi syarat menurut dikti.

Oleh karena itu proses pengusulan jabatan fungsional itu berjenjang dan semakin ke atas semakin ketat saringannya. Sehingga bisa terjadi bolak-balik usulan itu karena diperbaiki. Tidak sekali jadi.

Berbicara pelanggaran, maka tentu yang dilanggar adalah peraturan. Dikatakan pelanggaran akademik. Pertanyaannya: apa pelanggaran akademik itu, dan merujuk ke mana peraturannya.

Berbicara peraturan terkait dengan masalah akademik maka peraturan yang saya ketahui adalah Peraturan Mendikbudristek No.39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menggasilkan Karya ilmiah. Inilah rujukan peraturan untuk melihat pelanggaran akademik. Bahasa kita harus sama: apa itu pelanggaran akademik, dan peraturan mana yang jadi rujukan. Berdasarkan peraturan itu maka kita lalu dapat membutiri mana ketentuan yang dilanggar.

Pasal 9 Peraturan Mendikbudristek tersebut menyatakan: “Pelanggaran Integritas Akademik dalam menghasilkan Karya Ilmiah terdiri atas a. Fabrikasi, b. Falsifikasi, c. Plagiat, d. Kepengarangan yang tidak sah, e. Konflik kepentingan, dan f. Pengajuan jamak. Pasal 10 menjelaskan apa yang dimaksud dengan fabrikasi dst.

Berdasarkan pasal 9 peraturan menteri tsb itulah diperiksa apakah karya tulis itu ada unsur-unsur tersebut. Jika tidak terbukti, berarti karya ilmiah itu bersih. Tentu para asesor di dikti punya metode untuk mendeteksi artikel ilmiah yang mengandung pelanggaran ke-6 item tersebut.

Pada pasal 12 permen tersebut diatur tentang cara pelaporan. Setiap orang yang mengetahui pelanggaran tersebut dapat melaporkan (Pasal 12: 1). Laporan itu harus disertai bukti yang relevan. Di sinilah kewajiban para penuduh membeberkan bukti-bukti yang tak dapat dibantah oleh para tertuduh. Proses ini saya ketahui tidak jalan dalam pemeriksaan guru besar yang dituduh melanggar integritas akademik. Menunjukkan bukti adalah kewajiban mereka. Prinsip yang dianut adalah Actori Incumbit onus probandi (beban pembuktian ada pada penuduh). Asas lainnya adalah presumption of innocence (asas praduga tak bersalah). Asas praduga tak bersalah ini bahkan tak berjalan dalam group WhattsApp yang terdiri atas sarjana hukum. Mereka sudah menjatuhkan vonis bahwa para guru besar itu salah.

Dalam tata cara pelaporan tersebut diatur bahwa jika yang dilaporkan tersebut adalah sivitas akademika maka laporannya harus ke pemimpin perguruan tinggi bukan ke menteri atau dirjen yang membidangi hal itu. Jika kita dalam kasus guru besar tersebut prosedur itu dilanggar oleh pelapor. Dan dirjen dikti lalu menindaklanjuti laporan itu dengan menurunkan Tim ke ULM. Artinya, dirjen melanggar aturan menteri. Dan Tim yang datang tidak membawa bukti-bukti, hanya melakukan introgasi kepada para guru besar.

Pertanyaannya: mengapa dirjen dikti hingga melanggar aturan menteri? Karena pelapor punya akses ke dikti. Di sinilah, saya mencium permainan politik aktor intelektual di balik kasus guru besar tersebut. Sasaran mereka: memukul dekan FH ULM dan terikut pula Rektor ULM. Namun, permainan ini akan sangat berbahaya, karena para guru besar ini bukan sekumpulan kambing yang redo disembelih dengan keluar putusan dari rektor yang tidak bisa mereka terima. Kasus ini bisa berujung ke pengadilan PTUN. Inikah skenario aktor intelektual dibalik kegelapan malam? Oleh karena itu kearifan pihak rektorat dan para guru besar. Yang jelas kepemimpinan dekan FH dan Rektor ULM sedang diuji.

Mengapa aktor intelektual tersebut memainkan jurus-jurus politik ini di FH ULM dan siapa dia? Saya tak ingin menjawab pertanyaan ini.***

*Penulis adalah pemerhati sosial dan politik