Situasi Asia kembali memanas. Hal ini setidaknya terlihat dalam hubungan Amerika Serikat (AS) dan Jepang serta China dan Rusia.
Washington dan Tokyo dilaporkan mengeluarkan “serangan verbal” yang pedas terhadap Beijing dan Moskow, Minggu. Ini setelah diskusi tingkat tinggi tentang peningkatan kolaborasi pertahanan dilakukan AS dan Jepang, menunjuk bagaimana kawasan yang semakin tidak stabil.
Pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah pembicaraan “2+2” di ibu kota Jepang. Petinggi hadir antara lain Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Menteri Pertahanan Lloyd Austin, dan mitra mereka dari Jepang Menteri Luar Negeri Jepang Yoko Kamikawa.
“Kebijakan luar negeri China berupaya membentuk kembali tatanan internasional untuk keuntungannya sendiri dengan mengorbankan orang lain,” kata ketiganya dalam pernyataan bersama dimuat AFP, Senin (29/7/2024).
“Keberatan keras… atas klaim maritim yang melanggar hukum, militerisasi fitur-fitur yang direklamasi, dan aktivitas yang mengancam dan provokatif di Laut Cina Selatan (LCS) China,” tambahnya.
“Mengkritik keras kerja sama militer strategis yang berkembang dan provokatif Rusia dengan China,” tegas pernyataan ketiganya lagi menyinggung pula pengadaan rudal balistik dan material lain dari Korea Utara (Korut) oleh Moskow untuk digunakan dalam perang Ukraina sambil menyebut kekhawatiran atas ekspansi persenjataan nuklir China “yang terus-menerus dan cepat”.
Secara terpisah Blinken mengatakan semua aliansi AS “bersifat defensif”. Ia mengatakan sekutu Washington tak memiliki ambisi terhadap apapun dan tak akan pernah bersifat ofrnsif.
“Namun, pada saat ancaman-ancaman ini meningkat, aliansi-aliansi kita, kemitraan-kemitraan kita, semakin dalam, semakin kuat, semakin efektif,” ujarnya dalam konferensi pers.
Di sisi lain, Kamikawa mengatakan dunia kini berada pada titik balik yang bersejarah. Di mana ada perkembangan yang mengguncang fondasi tatanan internasional yang bebas dan terbuka berdasarkan supremasi hukum, secara terus menerus.
“Kita harus memperdalam dan mengembangkan aliansi AS-Jepang untuk menjaga tatanan internasional dan meningkatkan pencegahan,” katanya.
Perlu diketahui, China mengklaim LCS, yang dilalui perdagangan triliunan dolar setiap tahunnya, hampir 90%. Ini membuat negeri itu berselisih dengan sebagian besar negara ASEAN, termasuk Indonesia di Laut Natuna Utara.
Khusus Jepang dan Beijing sendiri keduanya juga berselisih pendapat mengenai pulau-pulau yang disengketakan di Laut Cina Timur yang dikuasai Jepang. Salah satunya terkait Senkaku (nama Jepang) atau Diaoyu (nama China), pula tak berpenghuni tersebut berada di Kepulauan Pinnacle, yang saat ini berada di bawah administrasi Jepang namun dicatat China sebagai bagian dari Kecamatan Toucheng, Kabupaten Yilan.
Pangkalan Militer Baru Tentara AS di Jepang
Sementara itu, di kesempatan yang sama AS mengonfirmasi rencana untuk mendirikan Markas Besar Pasukan Gabungan baru di Jepang, yang dipimpin oleh seorang komandan AS bintang tiga. Bakal ada 54.000 personel militer AS yang ditempatkan di sana.
Markas ini akan berfungsi sebagai mitra Komando Operasi Gabungan yang direncanakan Jepang untuk semua angkatan bersenjatanya, yang membuat militer kedua negara lebih gesit jika terjadi krisis di Taiwan atau semenanjung Korea. Pasukan AS di Jepang saat ini terkait dengan Komando Indo-Pasifik di Hawaii, sekitar 6.500 kilometer (4.000 mil) jauhnya dan 19 jam di belakang Tokyo.
Jepang dan AS juga sepakat untuk meningkatkan perencanaan untuk kemungkinan darurat dan “meningkatkan dan memperluas” cakupan pelatihan dan latihan bersama. Jepang telah melepaskan sikap pasifisnya yang ketat dalam beberapa tahun terakhir, meningkatkan anggaran pertahanan dan bergerak untuk memperoleh kemampuan “serangan balik”.
Hubungan China & Jepang “Kritis”
Sebelumnya, Menteri Luar (Menlu) Negeri China Wang Yi mengatakan kepada mitranya Menlu Kamikawa hari Jumat akhir pekan kemarin, bahwa hubungan
antara China dan Jepang kini berada di tahap kritis. Keduanya bertemu di sela-sela pertemuan para menteri luar negeri yang diselenggarakan oleh blok Asia Tenggara ASEAN di Laos.
“Hubungan China Jepang saat ini berada pada titik kritis,” kata Wang kepada Kamikawa, menurut hasil pembicaraan yang dikeluarkan oleh kementerian luar negeri China, dimuat CNBC International.
“Kebijakan China terhadap Jepang selalu menjaga stabilitas dan keberlanjutan. Diharapkan pihak Jepang akan membangun persepsi yang objektif dan benar tentang Tiongkok dan mengejar kebijakan yang positif dan rasional terhadap China,” tambahnya.
Sebenarnya dalam pembicaraan tatap muka pertama mereka dalam delapan bulan, Kamikawa mendesak pencabutan pembatasan impor yang diberlakukan Beijing pada produk makanan Jepang setelah kebocoran air Fukushima. Dia juga menyerukan pembebasan lebih awal tahanan Jepang di China.
Penangkapan seorang eksekutif yang memiliki koneksi baik dari perusahaan farmasi Jepang Astellas Pharma di China tahun lalu telah memberikan apa yang digambarkan oleh beberapa pejabat Tokyo sebagai efek yang cukup mengerikan pada bisnis. Ini berkontribusi pada penurunan investasi asing dan eksodus ekspatriat Jepang.
“Sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang membuat warga negara Jepang dan perusahaan Jepang dapat beroperasi di Tiongkok dengan tenang,” kata Kamikawa kepada Wang, menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Jepang.
Jepang, sekutu dekat AS, bersama dengan negara-negara G7 lainnya berusaha untuk menghentikan hubungan ekonominya dengan China di bidang-bidang strategis. Tokyo bersekutu dengan AS dalam pembatasan yang sedang berlangsung untuk mempersempit akses Beijing ke semikonduktor canggih.
Kamikawa memberi tahu Wang bahwa pembatasan ekspor semikonduktor Jepang tidak ditujukan ke negara tertentu. Ia menegaskan Jepang bersedia untuk menjaga komunikasi yang konstruktif tentang masalah tersebut dengan China.
“Kedua menteri mengatakan mereka akan berusaha membangun komunikasi rutin dan telah menyampaikan undangan bersama untuk mengunjungi negara masing-masing guna melanjutkan pembicaraan,” menurut Kementerian Luar Negeri Jepang.
Source : CNBC Indonesia