Keberadaan emas Soekarno selalu menjadi pembicaraan khalayak. Tak sedikit orang melakukan perburuan, meskipun berujung pada kegagalan.
Meski begitu, ada satu orang yang cukup beruntung, yakni perempuan bernama Siti Herlina Kasim.
Di saat orang lain susah payah mencari, Herlina malah memperoleh emas Soekarno langsung dari tangan sang proklamator secara gratis. Bahkan, pemberian emas tersebut diatur khusus oleh negara melalui Keputusan Presiden No.10/PLM, BS Tahun 1963.
Tak tanggung-tanggung, Soekarno memberinya emas seberat 500 gram dalam bentuk kalung. Jika dikonversi ke masa sekarang (1 gr: Rp1,4 juta), maka 500 gram emas setara Rp700-an juta. Nominal sangat besar di tahun 1960-an dan sekarang.
Lantas, mengapa Soekarno mau berbagi emas dengan Herlina?
Pejuang Wanita Pemberani
Pemberian emas dari Soekarno tak terlepas dari keberanian Herlina ikut serta dalam Operasi Trikora.
Sebagai catatan, operasi yang berlangsung dari 1961 sampai 1962 ini adalah kampanye militer Indonesia untuk membebaskan wilayah Irian Barat (kini, Papua) yang masih dikuasai Belanda. Dalam menjalankan operasi, pemerintah juga membuka pintu bagi sipil untuk ikut serta menjadi relawan perang melawan Belanda di Papua.
Herlina langsung tergerak hatinya menjadi relawan. Pada usia 20 tahun, amarah Herlina terhadap Belanda memang sedang membara. Dia marah karena Negeri Kincir Angin masih menjajah tanah Papua.
Selama ini dia hanya bisa “menyerang” Belanda melalui media massa dengan memanfaatkan posisinya di kantor percetakan Jakarta. Maka, saat pemerintah membuka relawan perang, dia langsung bergegas mendaftar.
Keputusan Herlina mendaftar membuat kaget banyak orang. Semua beralasan karena dia perempuan berlatar non-militer. Zona perang bukan dunia perempuan. Semua laki-laki, sangat berbahaya, dan nyawa taruhannya.
Namun, Herlina tak peduli omongan orang lain. Baginya, wanita juga berhak ikut perang.
“Indonesia sekarang bukan Indonesia zaman kolonial dimana wanita tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum pria! Untuk itu aku datang ke Irian Barat yang ingin mengabdikan dirinya pada Negara dan Tanah Air,” kata Herlina dalam memoarnya, Pending Emas: Pengalaman-pengalaman Selama Mendarat di Irian Barat (1964).
Pada 21 Juni 1962, Herlina nekat pergi ke Makassar untuk mencari cara agar bisa berangkat ke Papua. Dia menemui banyak perwira militer guna menyampaikan niatan jadi relawan. Sayang, mayoritas perwira tak memberinya izin. Alasannya, karena dia wanita. Tak ada urgensi wanita di medan perang.
Dua hari kemudian, Herlina memberanikan diri lagi menyampaikan niatnya langsung ke komandan pertempuran, Mayor Jenderal Soeharto. Beruntung, dia mendapat jawaban positif dari tentara yang bakal jadi penguasa negeri itu.
“Setelah rapat usai, Herlina diterima oleh Panglima Manda Mayjen Soeharto. Herlina diizinkan untuk turut menyusup ke daratan Irian Barat dalam kesempatan pertama,” tulis memoar 25 tahun Trikora (1988).
Setelahnya, hari-hari Herlina dihiasi oleh ketegangan. Memang, dia tak ditugaskan angkat senjata dan hanya membina masyarakat. Namun, prosesnya sangat berat.
Dia harus menyusup ke pedalaman Papua, berjalan di tengah suara bising peluru, dan juga memimpin pasukan. Majalah Dharmasena (1991, Vol.16) menyebut, Herlina sempat bertugas sebagai komandan Brigade Tempur.
Ini semua membuatnya berulang kali hampir mati terbunuh dan kelaparan. Beruntung, berbagai tantangan itu dilewati dengan baik. Saat perang usai, Herlina masih sehat.
Dapat 500 Gr Emas Soekarno
Setelah perang, para gerilyawan diberi sambutan khusus oleh Presiden Soekarno. Soekarno memberi masing-masing gerilyawan, baik masih hidup atau gugur, bintang kehormatan Dharma Bakti.
Namun, saat menemui Herlina, Soekarno berdecak kagum dan tersenyum lebar. Presiden sangat bangga atas keberanian dan ketulusan Herlina sebagai wanita satu-satunya yang ikut perang melawan Belanda di Papua.
Rasa bangga Soekarno kemudian tak hanya membuat Herlina mendapat Bintang Dharma Bakti, tapi juga pending (kalung) emas seberat 500 Gram dan uang tunai Rp10 juta.
“Dan hatiku pun bangga mengenangkan perjuangan teman-temanku. Tanpa kuasa menahan lagi, air mataku menetesi kedua pipi dan baju hijauku,” kata Herlina.
Kendati demikian, Herlina sadar pemberian Soekarno berlebihan sekalipun emas tersebut sudah jadi idaman sejak lama. Alhasil, emas itu diserahkan kembali ke Soekarno. Ini dilakukannya untuk menghargai rekan seperjuangan yang sudah gugur atau cacat. Sekaligus membuktikan bahwa perjuangannya tulus, bukan karena hadiah.
“Hadiah dipersembahkan sebagai lambang pejuang Trikora yang akan dikenang selama-lamanya,” tuturnya.
Setelah perang, Herlina aktif dalam berbagai organisasi dan bisnis. Dia wafat pada 17 Januari 2017.
Source : CNBC Indonesia