Para atlet selalu totalitas mempertunjukkan hasil latihan demi meraih medali di ajang olahraga, termasuk Olimpiade.

Tentu jika sukses meraih medali, maka tak hanya kebanggaan pribadi saja yang menyertai, tapi juga bonus.

Pada umumnya, para peraih medali bakal menerima bonus. Baik itu dari pemerintah atau swasta.

Prancis, misalnya, menurut laporan Capital para peraih medali bakal mendapat bonus sekitar US$85 ribu atau Rp1,3 miliar sampai US$22 ribu atau sekitar Rp356,5 juta, tergantung perolehan medalinya. Jika mendapat emas, maka berhak mendapat nominal tertinggi.

Sementara Indonesia juga sama. Memang belum ada pernyataan resmi dari pemerintah terkait bonus atlet di Olimpiade 2024. Namun, jika berkaca pada ajang olahraga sebelumnya, pemerintah selalu royal memberi bonus ke atlet.

Dalam Olimpiade Tokyo 2020, pemerintah memberi uang Rp5 miliar untuk peraih medali emas, Rp2 miliar untuk perak, dan Rp1 miliar untuk perunggu. Lalu, di perhelatan SEA Games 2023, pemerintah juga memberikan bonus di rentang Rp500 juta.

Biasanya, para atlet Indonesia juga memperoleh hadiah uang atau bentuk lain dari pihak swasta. Belum lagi, mereka kelak bakal mondar-mandir berbagai acara hiburan yang bisa menambah cuan.

Sejauh ini ada tiga atlet Indonesia peraih medali di Olimpiade 2024, antara lain Gregoria Mariska, Rizki Juniansyah, dan Veddriq Leonardo. Mereka tentu bakal menikmati masa emas karena kerja kerasnya berbuah manis.

Kendati demikian, para peraih medali juga harus paham: kehidupan atlet tidak selamanya terus bersinar.

Saat masih berjaya dan berprestasi, mereka dianggap bak pahlawan. Namun, semua berubah saat pensiun. Namanya langsung meredup dan berujung pada hidup yang mengenaskan.

Tua Bangkrut Menderita

Para atlet bisa belajar dari kasus petenis Inggris, Boris Becker. Sejak memulai karier sebagai petenis di usia 17 tahun, Becker selalu mencatatkan hasil positif di tiap pertandingan.

BBC International mencatat semasa produktif, Becker mengoleksi seluruh piala bergengsi kejuaraan tenis dunia.

Dia sempat menjuarai US Open, dua kali Australian Open, tiga kali juara Wimbledon, 13 kali mengangkat piala Master Serius, dan sukses meraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992.

Dari gelar juara itu tentu bukan hanya kehormatan dan puja-puji yang didapat. Tetapi juga soal uang.

Dalam paparan Fox Sport, Becker selama berkarier sukses mendapat uang US$ 50 juta, setara US$ 120 juta atau Rp1,8 triliun di masa kini. Jumlah itu sukses menempatkan Becker sebagai salah satu petenis tersukses dan terkaya di masanya.

Sayang, kegemilangan tersebut runtuh seketika saat pensiun di usia 32 tahun. Berkat gaya hidup ugal-ugalan dan tak memahami kemampuan finansial baik, uang Becker lenyap begitu saja.

Dalam laporan New York Times, selepas pensiun dia kerap bermain wanita, selingkuh, berbagai skandal, dan terlilit utang.

Pada 2017, dia pun dinyatakan bangkrut oleh pengadilan Inggris akibat tak bisa menutupi seluruh utangnya senilai €36,5 juta atau Rp 603 miliar. Alhasil, dia pun harus dipenjara selama 30 bulan.

Di Indonesia, pembelajaran terbaik bisa dipetik dari perjalanan petinju era 1980-an Ellyas Pical. Dia merupakan petinju Indonesia pertama yang meraih gelar juara dunia tinju profesional.

Pertarungannya di atas ring seluas 7×7 meter selalu mencatatkan hasil positif. Dia sukses membuat lawan bertekuk lutut. Total, dia mencatatkan mencatatkan 20 kali menang, 11 di antaranya dengan kemenangan KO, satu kali seri, dan lima kali kalah.

Dari tiap kemenangan, tentu Ellyas mendapat berbagai keistimewaan, khususnya terkait uang sekalipun tak diketahui seberapa banyak. Namun, itu semua berakhir saat pensiun. Nama Ellyas langsung menghilang.

Sampai akhirnya, namanya muncul lagi di media pada 2005. Sayang, bukan akibat prestasi melainkan narkoba. Dalam arsip Detik.com (13 Juli 2005), dia dicokok polisi karena tertangkap tangan sedang menawarkan narkoba di suatu diskotik.

Dari sini lantas diketahui bahwa hidup Ellyas setelah pensiun mengenaskan. Dia sempat jadi satpam. Beruntung, dia masih bernasib baik. Setelah mendekam 7 bulan di penjara, Ketua KONI Agun Gumelar saat itu mengajaknya ikut bekerja.

Kesejahteraan Hal Utama

Boris Becker dan Ellyas Pical hanya contoh. Dalam kasus lain, mengutip publikasi American Bankruptcy Institute, diketahui banyak pemain Liga Sepakbola AS dan Liga Basket AS mengalami kebangkrutan. Persentasenya mencapai 60%-78%.

Benang merah dari seluruh kasus tersebut hanya satu: kegagalan mengelola uang dengan baik. Mereka kerap menghamburkan uang. Lupa bahwa mereka tak lagi bekerja dan tak juga dapat pensiun.

Singkatnya, mereka alfa atas masa depan. Dalam laporan Yahoo Finance diketahui, biasanya para atlet baru bangkrut setelah tiga tahun pensiun.

Mengutip Detik Sports, Jumat (9/8/2024), pemerintah Indonesia sudah menyadari hal ini melalui penyediaan jaminan sosial, literasi finansial, dan sebagainya, untuk memastikan keberlanjutan masa depan atlet usai pensiun.

Tentu, upaya ini menjadi tanda positif. Bermodalkan manajemen keuangan baik, diharapkan pada masa depan tak ada lagi kabar atlet yang saat muda mandi uang lalu tua hidup menderita.

Source : CNBC Indonesia