Ekonom senior Bambang Brodjonegoro mengatakan penyebab jutaan warga kelas menengah Indonesia turun kelas tak hanya disebabkan oleh Covid-19 dan PHK, melainkan oleh kebiasaan sehari-hari masyarakat, yakni kebutuhan air kemasan.
Air kemasan yang dimaksud adalah air galon, air botol, dan sebagainya.
Menurutnya, tingginya kebutuhan air kemasan oleh masyarakat menggerus pendapatan bulanan yang diperoleh.
Tingginya kebutuhan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) oleh masyarakat Indonesia kiwari sudah berlangsung sejak lama.
Sejarah mencatat, kebiasaan ini sudah berlangsung sejak masa kolonialisme Belanda yang ditandai dengan kemunculan merek AMDK pertama, yakni Hygeia.
Jika kini bikin warga RI jatuh miskin, keberadaan AMDK pertama mengubah kehidupan masyarakat di negeri jajahan. Pendirinya pun berubah nasib jadi orang terkaya Indonesia.
Bagaimana kisahnya?
Solusi Krisis Air Bersih
Selama ratusan tahun, masyarakat Indonesia mengonsumsi air bersih dengan cara merebusnya. Biasanya, masyarakat mengambil air dari sumur atau sungai terdekat. Lalu direbus hingga mendidih sebelum dipakai.
Kebiasaan ini berlangsung karena mereka percaya air kotor bakal membawa penyakit. Pada 1680-an, misalnya, penduduk di Batavia (kini Jakarta) menyaksikan bahwa sebagian besar orang tidak pernah minum air yang belum dimasak.
Alasannya, seperti diceritakan de Haan dalam Oud Batavia (1922), karena ada “makhluk-makhluk kecil yang tidak terlihat di dalam air yang baru mati kalau dimasak.” Beranjak dari sini, kebiasaan merebus air menular ke kalangan orang Eropa.
Sekalipun, menurut sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (1993), merebus air sangat tidak efisien karena memerlukan bahan bakar dan waktu. Meski begitu, kebiasaan ini tak bisa ditolak sebab menjadi satu-satunya cara mengonsumsi air yang benar-benar bersih.
Sampai akhirnya, muncul ide cemerlang dari Hendrik Freerk Tillema. Tillema merupakan bule asal Belanda yang mencari peruntungan sebagai apoteker di Semarang. Setelah lama merintis karir, dia kemudian memilih fokus berbisnis, yakni air minum dalam kemasan.
Sebagai orang kesehatan, Tillema paham akan pentingnya air bersih sebagai kebutuhan dasar masyarakat. Terlebih kala itu belum ada orang yang menciptakan air kemasan.
Jika dijalani, Tillema yakin akan tercatat dalam sejarah karena mengubah kebiasaan masyarakat. Plus dia juga bakal kaya raya.
Alhasil, pada 1901, dia mendirikan pabrik AMDK pertama di Indonesia, yakni Hygiea.
Dalam Building Practice in the Dutch East Indies (2023), Tillema memilih nama Hygiea karena terinspirasi oleh mitologi Yunani Kuno tentang dewa pemberi kesehatan. Namun, di kalangan pribumi Hygiea lebih dikenal sebagai ‘air Belanda’.
Orang Terkaya
Langkah Tillema mempromosikan Hygiea tak main-main. Dia rela merogoh kocek tak sedikit agar bisa mengubah kebiasaan masyarakat dari merebus air jadi mengonsumsi AMDK. Diketahui, dia menyebarkan promosi besar-besaran melalui koran.
Tak hanya itu dia sering menebar selebaran produk di banyak kota, mulai dari Batavia, Semarang, Surabaya hingga Riau. Bahkan, Hygiea juga jadi produk pertama di Indonesia yang menyebarkan selebaran melalui balon udara.
Tillema menjual Hygiea seharga 0,25 gulden. Lalu, dia juga membuat promo: tukar 6 botol Hygiea kosong dengan 6 botol baru seharga 75 sen.
Semua itu, pada akhirnya membuahkan hasil. Hygiea sukses di pasaran Indonesia. Semua orang Eropa dan pribumi elite menjadikan Hygiea sebagai konsumsi utama. Tentu, bagi mereka yang tak mampu tetap mengonsumsi air rebus.
Pada titik ini, Tillema pun menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia seiring merajalelanya Hygiea di seluruh Indonesia.
Keinginan Tillema menjadi inovator yang dicatat sejarah pun akhirnya terwujud.
Hygiea tak hanya mengubah kebiasaan mengonsumsi air, tapi juga mendorong masyarakat untuk hidup sehat. Sebab, setelah Hygiea populer, kualitas kesehatan masyarakat di beberapa daerah meningkat.
Di Semarang, misalnya, Hygiea membuat kasus malaria menurun. Banyak orang sakit menjadi sehat usai mengonsumsi air bersih Hygiea. Berkat kesuksesan ini, Tillema diangkat menjadi anggota dewan Semarang.
Sayang, riwayat Hygiea berakhir saat Indonesia merdeka. Meski begitu, keberhasilannya menjadi inspirasi bagi pengusaha lain melakukan hal serupa.
Kita tahu, setelahnya banyak perusahaan AMDK lain yang eksis di Indonesia.
Source : CNBC Indonesia