Ekonom senior UI dan Indef Faisal Basri meninggal dunia pada Kamis (5/9/2024).

Kabar itu dibenarkan oleh rekan sesama ekonom Indef Eko Listyanto saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com

“Benar, beliau meninggal,” katanya.

Ia menjelaskan Faisal Basri meninggal pada Kamis pukul 03.50 dinihari.

Ia belum mengetahui penyebab pasti meninggalnya Faisal Basri.

“Ketika dikonfirmasi ke anak, katanya Beliau sakit sejak Senin lalu,” ujarnya.

Faisal Basri merupakan sosok ekonom yang lantang mengkritik pemerintah.

Ia acap kali mengingatkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena menganggapnya terlalu boros sehingga utang membludak.

Pria kelahiran Bandung, 6 November 1959 itu juga tak segan-segan mengkritik program unggulan Jokowi, hilirisasi. Menurut Faisal, hilirisasi ala Jokowi masih ugal-ugalan.

Saat Pilpres 2024 berlangsung, Faisal dengan berani membujuk Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono serta menteri lainnya untuk mundur dari kabinet Jokowi.

Hal ini dikarenakan pemerintahan terkesan berpihak pada pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

“Ayo sama-sama kita bujuk Bu Sri Mulyani, Pak Basuki, dan beberapa menteri lagi untuk mundur. Itu efeknya dahsyat. Secara moral, saya dengar Bu Sri Mulyani paling siap untuk mundur. Pramono Anung (sekretaris kabinet) sudah gagap. Kan PDI (PDI Perjuangan) belain Jokowi terus, pusing,” klaim Faisal dalam Political Economic Outlook 2024 di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (13/1/2024).

Sebelum selantang saat ini, Faisal mulai menggeluti dunia ekonomi sejak di bangku kuliah.

Keponakan dari mendiang Wakil Presiden RI Adam Malik itu menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (1985) dan meraih gelar Master of Arts bidang ekonomi di Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika (1988).

Faisal juga bagian dari pendiri Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) (1995-2000) bersama sejumlah ekonom senior lainnya.

Di bidang pemerintahan, Faisal pernah mengemban amanah sebagai anggota Tim ‘Perkembangan Perekonomian Dunia’ pada Asisten II Menteri Koordinator Bidang EKUIN (1985-1987) dan anggota Tim Asistensi Ekuin Presiden RI (2000).

Di era pemerintahan Jokowi, ia juga pernah dipercaya menjadi ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi.

Tim berjuluk Tim Anti Mafia Migas bekerja 6 bulan penuh menyelidiki praktik-praktik impor BBM di tubuh anak usaha Pertamina, Petral.

Mengutip CNBC Indonesia, tim ini berhasil menemukan keberadaan ‘mafia’ di dalam bisnis minyak Indonesia.

Keberadaan mafia misal mereka temukan dalam proses penawaran impor minyak yang dilakukan ke Petral dan PES secara tidak lazim, berbelit-belit, dan harus melewati pihak ketiga yang bertindak sebagai agent atau arranger.

Tim itu juga menemukan indikasi kebocoran informasi soal spesifikasi produk dan owner estimate sebelum tender berlangsung.

Tim menemukan cukup banyak indikasi adanya kekuatan “tersembunyi” yang terlibat dalam proses tender oleh Petral.

Berdasar temuan tersebut, Tim pun mengeluarkan beberapa rekomendasi terkait Petral.

Pertama, tender penjualan dan pengadaan impor minyak mentah dan BBM tidak lagi oleh PES melainkan dilakukan oleh ISC (integrated supply chain) Pertamina.

Kedua, mengganti secepatnya manajemen Petral dan ISC dari tingkat pimpinan tertinggi hingga manajer

Ketiga, melakukan audit forensik agar segala proses yang terjadi di Petral menjadi terang benderang. Hasil audit forensik bisa dijadikan sebagai pintu masuk membongkar potensi pidana, khususnya membongkar praktik mafia migas.

Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti Menteri ESDM saat itu Sudirman Said dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) saat itu Dwi Soetjipto dengan membekukan bisnis Petral pada tengah Mei 2015.

Selain itu, mereka juga memerintahkan untuk dilakukannya audit forensik terhadap Petral. Lembaga audit Kordha Mentha kemudian ditunjuk untuk mengaudit forensik praktik jual beli minyak di Petral untuk periode 2012 sampai 2014.

Hasilnya; ada jaringan mafia minyak dan gas (migas) telah menguasai kontrak suplai minyak senilai US$18 miliar atau sekitar Rp250 triliun selama tiga tahun. Untuk audit anak usahanya itu, Pertamina merogoh kocek hingga US$1 juta.

Selain itu, Faisal juga pernah terjun ke dunia politik dengan mencoba mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta pada 2007 dan dan 2012 lalu. Namun, peruntungan ternyata belum berpihak kepadanya.

Selain itu, Faisal juga aktif menjadi narasumber yang membahas isu ekonomi yang memang sudah menjadi makanan sehari-harinya, seperti APBN, utang pemerintah, hingga pembangunan yang sedang berlangsung.

Faisal juga memiliki website pribadi yang memuat tulisan-tulisan dari pemikirannya tentang isu ekonomi yang tengah bergulir, seperti hilirisasi, ekonomi politik, hingga korupsi yang merugikan negara.

Source : CNN Indonesia