Beberapa waktu lalu Kementerian ESDM mengungkapkan ada warga negara China melakukan pertambangan emas ilegal di Kalimantan Barat.
Akibat perbuatannya, bumi Indonesia bolong hingga 1.600 meter dan negara mengalami kerugian setara ratusan kilogram emas dan perak.
Kegiatan penambangan oleh warga China sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Sejak 300 tahun lalu, Kalimantan, yang dijuluki pulau berlapis emas oleh dunia, sudah menarik perhatian warga China.
Bahkan, mereka datang berbondong-bondong mengeruk emas Borneo hingga membuat organisasi bak negara dalam negara.
Bagaimana Ceritanya?
Sejarah mencatat kedatangan warga China ke Kalimantan untuk menambang emas terjadi pada tahun 1740. Mereka datang atas perintah Sultan Mempawah dan hanya berjumlah 20 orang.
Alasan Sultan Mempawah mengundang warga China tak terlepas dari keterampilan yang dipunya. Mereka sudah punya keahlian pertambangan mumpuni yang dibarengi etos kerja baik.
Hal ini berbeda dengan orang dari kelompok etnis lain atau warga lokal sekalipun. Keterampilan lantas terbukti saat praktek.
Mereka melakukan penambangan emas secara baik. Sultan Mempawah pun tak kecewa sebab bisa mendapat keuntungan melimpah.
Menurut Bondan Winarno dalam Bre-x: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997), keberhasilan ini menarik animo besar dari para elit kesultanan lain untuk mengundang warga China. Maka, terjadilah migrasi besar-besaran warga China ke Kalimantan.
Undangan tersebut dibarengi keinginan mereka untuk merubah nasib, dari semula miskin menjadi kaya raya. Para warga China tak bergerak sendirian, di mana mereka mengadakan perjanjian bagi hasil dengan sultan.
Selama di Kalimantan, warga China mendapat tempat khusus. Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (1999) menyebut, mereka diberi permukiman, serta jaminan keamanan dan pengadilan.
Tak hanya itu, mereka juga diberi peralatan khusus untuk menambang emas. Semua keistimewaan lantas membuat mereka nyaman.
Pada akhirnya, tangan dingin warga China lantas membuat ekonomi wilayah sekitar tumbuh. Eksploitasi emas membuat Kalimantan makin dikenal, banyak pedagang Eropa dan Arab menjalin hubungan dagang dengan kesultanan lokal.
Organisasi bak Negara
Seiring waktu, warga China membentuk organisasi-organisasi (kongsi) sendiri terkait penambangan emas di Kalimantan.
Mengacu riset Any Rahmayani dalam Montrado 1818-1858: Dinamika Kota Tambang Emas (2015), tercatat ada 14 organisasi bentukan mereka.
Semua organisasi disebut Any sebagai “Republik”. Alias pergerakannya bak negara.
Menurut catatan Any, organisasi menaungi banyak kampung hingga organisasi lain. Di dalamnya, organisasi tersebut bisa menentukan kebijakan, memutuskan perkara, memungut pajak hingga mencetak uang logam yang seluruhnya berdampak pada wilayah tempat organisasi berdiri.
Kemudian, organisasi tersebut membangkang dari Sultan yang awalnya sangat baik kepada warga China. Penyebabnya, menurut Any disebabkan karena mereka merasa diperlakukan secara kejam dan menurunnya pendapatan akibat pemberian upeti terlalu besar.
Setelah membangkang, mereka lewat organisasi juga mendatangkan warga China dan berusaha mengambil alih tambang. Dari sini, terjadi rentetan konflik antara kesultanan, warga lokal, hingga warga China sendiri.
Pada 1842, misalnya, salah satu organisasi, Thaikong, terlibat konflik dengan warga Dayak. Awalnya terjadi karena warga China merebut tambang emas milik Dayak.
Tak terima, kelompok Dayak yang dibantu Kesultanan Sambas menyerang Thaikong. Kejadian-kejadian serupa, saking banyaknya dan sering melebihi batas, membuat pemerintah kolonial Belanda lantas melarang seluruh kegiatan organisasi dan aktivitas pertambangan warga China.
Dari sini, warga China yang hidup bergelimang harta harus menjalani hidup baru dari nol di Kalimantan. Mereka kemudian beralih menjadi pedagang dan pengusaha perjudian hingga rumah bordil.
Source : CNBC Indonesia