Di media sosial viral aksi para peternak sapi di Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah (Jateng) mandi susu.
Mereka melakukannya sebagai bentuk protes karena produk susu tidak diterima oleh Industri Pengolah Susu (IPS).
Padahal pada waktu bersamaan susu impor dari Selandia Baru dan Australia bisa ke Indonesia tanpa dikenakan pajak bea masuk. Kejadian ini tentu menjadi ironi dan membuat para peternak menjerit karena kehilangan keuntungan cukup besar.
Lantas, Sejak Kapan Indonesia Membuka Keran Impor Susu?
Sejarah mencatat Indonesia melakukan impor susu pada 1969 atau saat Presiden Soeharto berkuasa. Kala itu, impor susu terjadi karena pemerintah membuka pintu bagi investasi asing lewat UU Penanaman Modal Asing tahun 1967.
Adanya impor susu pertama dibuktikan dengan berdirinya PT Indomilk pada 3 Juli 1969. Indomilk adalah perusahaan patungan antara perusahaan Australia, Australia Dairy Produce Board, dan perusahaan susu lokal, NV Morison milik Nahar Zahiruddin Tanjung.
Menurut majalah Prisma (1982), operasional Indomilk diperoleh dari kiriman bahan baku susu Australia yang kala itu produksinya sangat melimpah. Bahan baku yang diimpor antara lain susu segar, susu bubuk, dan gula.
Sebelumnya, tulis koran Berita Industri (30 Agustus 1968), Australia Dairy Produce Board sudah lebih dulu melakukan ekspor susu dan mendirikan perusahaan patungan di Singapura, Thailand, dan Filipina.
Sedangkan di Indonesia, PT Indomilk berdiri di atas modal awal sebesar US$ 750 ribu dan pinjaman dari Australia Dairy Produce Board sebesar US$ 600 ribu. Uang sebesar itu kemudian dipakai untuk pembangunan pabrik di Jakarta Timur.
Harian Berita Industri (14 Juli 1969) menyebut, pabrik tersebut bisa memproduksi 50 juta kaleng susu kental manis dan juga susu pasteurisasi. Semuanya dijual dengan kualitas tinggi dan harga murah.
“(pendirian Indomilk) merupakan persembahan kepada masyarakat konsumen Indonesia yang memerlukan hasil peternakan susu berkualitas tinggi dengan harga yang rendah,” tulis iklan Indomilk di harian Berita Industri (14 Juli 1969).
Pada 1970, produk Indomilk sudah membanjiri pasar Indonesia. Kala itu, Indomilk hanya memiliki pesaing dari merek Frisian Flag yang sudah eksis di Indonesia sejak masa kolonial.
Singkat cerita, Indomilk semakin berjaya usai pengusaha Sudono Salim ikut berinvestasi. Belakangan, kepemilikan Indomilk dikendalikan sepenuhnya di bawah bendera Salim Group.
Artinya, sejak tahun 1969 keran impor susu di Indonesia terus terbuka sampai sekarang.
Dahulu Tidak Impor Susu
Hal ini jelas berbanding terbalik dengan kondisi dua abad lalu. Pada masa kolonial, industri susu di Indonesia sudah berjalan demi memenuhi permintaan susu dari kalangan Eropa.
Pejabat kolonial J. Stroomberg dalam 1930 Handbook of The Netherlands East-Indies (1930) mencatat kebutuhan susu dipenuhi dari industri pemerasan susu lokal.
Biasanya para pengusaha susu memeras sapi keturunan Belanda dan Australia. Namun, tingginya permintaan susu yang tak dibarengi oleh peningkatan produksi susu membuat para pengusaha melakukan impor.
Hanya saja mereka tidak impor susu melainkan impor sapi perah dari Australia yang bisa menghasilkan susu melimpah.
Mereka mendatangkan sapi perah untuk diambil susu segar dan kemudian diperjualbelikan di Tanah Air. Berkat cara ini, industri pemerahan susu di Indonesia tetap bertahan dan ada kecenderungan meningkat.
“Di akhir tahun 1928, tercatat total sapi di tempat pemerahan susu mencapai 12.756, yang 4.876 diperas dari sapi keturunan Belanda. Sedangkan sisanya, dari sapi Australia,” tulis J. Stroomberg.
CNBC Indonesia