Hari ini banyak orang kaya raya dari bisnis media. Namun, belum banyak orang tahu siapa orang pertama berbisnis media dan menjadi raja media pertama di Indonesia.
Ternyata orang itu adalah pria kelahiran Yogyakarta bernama Dominique Willem Berretty.
Namanya memang tak begitu dikenal dalam masyarakat Indonesia saat ini. Namun, jejak hidupnya banyak diikuti sebagian orang untuk bisa kaya raya dari bisnis media.
Meski begitu, kisah hidup raja media pertama itu berakhir tragis. Dia tewas di usia 44 tahun saat pesawat yang ditumpangi jatuh di Gurun Suriah. Bagaimana kisahnya?
Raja Media Pertama
Dominique Willem Berretty tidak begitu saja terjun ke bisnis media. Sebelum berbisnis, dia lama bekerja sebagai jurnalis di berbagai surat kabar.
Pada 1910, dia menjadi reporter harian Bataviaasch Nieuwsblad.
Selang lima tahun kemudian, dia pindah ke Java Bode. Awalnya menjadi reporter, tapi perlahan menjadi redaktur.
Situs berbahasa Belanda, Huygens Istituut, menjelaskan selama di Java Bode, Berretty belajar banyak hal. Bahkan, dia sampai dikirim ke Amerika Serikat guna mengikuti banyak pelatihan.
Semua pengalaman tersebut akhirnya membuat pria kelahiran 20 November 1890 ini berani berbisnis media.
Pada 1 April 1917, dia mendirikan Algemene Nieuws en Telegraaf Agentschap (ANETA).
Dalam catatan Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam Adinegoro: Pelopor jurnalistik Indonesia (1987), kantor ANETA sangat sederhana. Lokasinya berada di Pasar Baru, Batavia dan hanya ada satu reporter.
Meski sederhana, Berretty melakukan tindakan luar biasa dan bisa memonopoli pemberitaan di Indonesia (dulu Hindia Belanda).
Langkah awal yang dia lakukan adalah bekerjasama dengan Reuters di Inggris dan beberapa perusahaan media di Belanda.
Ini dilakukan supaya ANETA menjadi corong pemberitaan pertama dan satu-satunya penyedia berita-berita Eropa kepada masyarakat Indonesia.
Apalagi, saat itu minat masyarakat membaca berita sedang tinggi imbas terjadi Perang Dunia I (1914-1918).
Masyarakat ingin tahu lebih lanjut bagaimana peperangan berdampak pada situasi politik dan bisnis di tanah jajahan.
Dalam sekejap, ANETA menjadi media paling banyak dibaca warga.
Kesuksesan ini membuat Berretty percaya diri mengambilalih kantor Reuters Batavia dan media pesaingnya, yakni Nederlandsch Indisch Pers Agentschap.
Pada titik ini, tulis Nobuto Yamamoto dalam Censorship in Colonial Indonesia (2019), ANETA melesat menjadi media nomor satu di Indonesia.
“Sejak akhir 1920, ANETA memonopoli pemberitaan di seluruh Indonesia. Pemberitaan dari luar dan dalam negeri didistribusikan oleh ANETA,” ungkap Nobuto.
Kebesaran nama sebagai media papan atas membuat ANETA kebanjiran uang. Sebagai media paling banyak dibaca, banyak perusahaan berlomba-lomba beriklan di sana.
Berretty pun tak hanya menjadikan medianya sebagai penyebar berita saja, tetapi juga semacam agensi periklanan.
Praktis, itu semua membuat ANETA makin tak tertandingi. Dompet Berretty pun semakin tebal dan dinobatkan sebagai orang pertama di Indonesia yang kaya raya dari bisnis media. Predikat raja media pertama pun layak disematkan kepadanya.
Tewas Saat Pesawat Jatuh
Selama menjadi orang kaya, Berretty hidup mewah. Pada 1932 dia membangun villa megah di Bandung. Villa tersebut dipakai untuk mengasingkan diri.
Selain hidup mewah, dia juga kerap gonta-ganti perempuan. Ada rumor dia sukses mendekati anak Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Meski begitu, kesuksesan Berretty sebagai raja media tergolong singkat, yakni hanya 17 tahun.
Pada 20 Desember 1934, hidup Berretty berakhir tragis. Dalam pemberitaan de Koerier (22 Desember 1934), Berretty tewas usai pesawat yang ditumpangi jatuh di kawasan Irak-Suriak. Dia tewas dalam usia 44 tahun.
Pada hari itu, Berretty pulang naik pesawat DC 2 Uiver dari Amsterdam ke Batavia.
Dia kembali ke Tanah Air usai mencari investor baru ANETA.
Namun, saat pesawat melintasi langit Suriah, cuaca buruk tiba. Pesawat seketika jatuh di gurun dan menewaskan seluruh penumpang, termasuk Berretty.
Untungnya jasad raja media Indonesia itu ditemukan dan langsung dikuburkan di Baghdad, Irak. Sepeninggal Berretty, kekayaannya dipegang anak-anaknya.
Sementara kantor berita ANETA tetap bertahan walau sempat ditutup pemerintah Jepang saat menjajah Indonesia tahun 1942.
Di era kemerdekaan, kantor berita ANETA berganti rupa menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang masih eksis sampai sekarang.
|CNBC Indonesia|