Bismillaahirrohmannierrohiem.
Sang ayah tersenyum mendengar pertanyaan anaknya. “Nak, pertanyaanmu menarik. Memang ada hadis yang menyebutkan bahwa pada bulan Ramadhan setan-setan dibelenggu. Tapi apakah itu berarti tidak ada lagi kejahatan di dunia? Tidak juga. Manusia tetap bisa berbuat dosa, tetap bisa marah, iri, atau serakah. Mengapa?”

Ia melanjutkan, “Bayangkan begini. Setan itu seperti penghasut yang membisikkan godaan ke dalam hati manusia. Tapi selama ini, kita tidak hanya digoda oleh setan dari luar, tetapi juga oleh nafsu kita sendiri. Saat setan dirantai di bulan Ramadhan, manusia tetap memiliki keinginan dan kebiasaan buruk yang sudah tertanam lama dalam dirinya. Seperti roda yang sudah lama berputar, ia tetap bergerak meski dorongan awalnya dihentikan.”

Anak itu mengangguk. “Jadi maksudnya, meskipun setan diikat, kita masih bisa berbuat salah karena kebiasaan kita sendiri?”

Sang ayah mengangguk. “Benar, Nak. Itulah mengapa Ramadhan adalah bulan latihan. Allah memberi kita kesempatan untuk mengendalikan diri tanpa gangguan setan, agar kita bisa melihat siapa diri kita sebenarnya. Jika kita masih mudah marah, malas beribadah, atau tergoda untuk berbuat buruk, itu bukan karena setan, tetapi karena jiwa kita sendiri yang masih perlu dibersihkan.”

Ia menutup dengan bijak, “Ramadhan adalah momen untuk menata hati. Bukan hanya menjauhi godaan dari luar, tetapi juga menaklukkan musuh terbesar—diri kita sendiri. (FR)