Bismillaahirrohmannierrohiem. Sang ayah menarik napas dalam, lalu menatap anaknya dengan penuh pemahaman.
“Nak, apa yang kau lihat adalah cerminan dari kenyataan politik yang telah berlangsung lama. Janji-janji diucapkan untuk merebut hati rakyat, tetapi setelah kekuasaan diraih, banyak yang lupa pada janji mereka. Ini bukan sekadar fenomena politik, melainkan gejala penyakit moral yang mengakar dalam jiwa manusia.”
Ia melanjutkan, “Dalam filsafat, ada istilah ‘Machiavellianisme’, yaitu cara berpikir bahwa kekuasaan harus diraih dengan segala cara, termasuk manipulasi dan kebohongan. Banyak politisi di negeri ini yang terjebak dalam pandangan itu –bahwa jabatan bukanlah amanah, tetapi alat untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Kekuasaan bagi mereka bukan ladang pengabdian, melainkan komoditas yang bisa diperjualbelikan.”
Sang anak menghela napas. “Jadi, tidak ada pemimpin yang benar-benar peduli dengan rakyat?”
Sang ayah menggeleng. “Tidak sepenuhnya begitu. Ada pemimpin yang jujur dan berjuang untuk rakyat, tetapi mereka sering tersisih atau kalah oleh sistem yang sudah rusak. Dalam politik, idealisme sering kali digerus oleh kepentingan pragmatis. Mereka yang ingin berbuat baik sering dihadapkan pada pilihan sulit: mengikuti arus atau dilenyapkan.”
Ia menambahkan, “Ramadhan mengajarkan kita untuk melawan hawa nafsu, termasuk nafsu akan kekuasaan. Jika kita ingin perubahan, maka generasi muda seperti kamu harus menjadi bagian dari solusi –bukan dengan cara yang sama, tetapi dengan hati yang lebih bersih dan tekad yang lebih kuat untuk menegakkan keadilan.”
Sang anak terdiam, merenungkan bahwa perubahan sejati tidak bisa hanya berharap dari pemimpin, tetapi harus dimulai dari kesadaran rakyat itu sendiri. (FR)