Bismillaahirrohmannierrohiem.
Sang ayah menatap anaknya dengan penuh kelembutan. “Nak, ketakutan terhadap kematian itu wajar, karena manusia mencintai kehidupan. Kita takut kehilangan apa yang kita miliki—orang-orang yang kita cintai, impian yang belum terwujud, dan segala kenyamanan dunia.”

Ia melanjutkan, “Kematian itu kepastian, tetapi manusia sering hidup seakan-akan mereka akan abadi. Kita sibuk mengejar dunia, lupa bahwa setiap langkah mendekatkan kita pada akhir perjalanan. Kematian menjadi menakutkan karena kita merasa belum siap, belum cukup berbuat baik, atau masih terikat dengan dunia.”

Sang anak mengernyitkan dahi. “Tapi Ayah, bukankah orang yang beriman seharusnya tidak takut mati?”

Sang ayah tersenyum. “Benar, Nak. Tapi keimanan bukan sekadar mengetahui bahwa ada kehidupan setelah mati, melainkan tentang kesiapan menghadapinya. Orang yang takut mati sering kali adalah mereka yang belum menemukan makna sejati dalam hidup. Namun, mereka yang hidup dengan hati bersih, yang berbuat baik dan memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan, akan melihat kematian bukan sebagai akhir, melainkan sebagai perjalanan pulang.”

Ia menambahkan, “Ramadhan mengajarkan kita untuk mempersiapkan diri. Dengan menahan lapar, kita belajar bahwa dunia ini hanya sementara. Dengan beribadah, kita mendekatkan diri pada Tuhan, agar saat kematian tiba, kita menyambutnya bukan dengan takut, tetapi dengan ketenangan.”

Sang anak terdiam, merenungi bahwa ketakutan terhadap kematian bukanlah masalah keberanian, tetapi soal kesiapan hati dalam menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan. (FR)