Bismillaahirrohmannierrohiem.
Sang ayah tersenyum dan menatap anaknya dengan penuh kelembutan. “Nak, di akhirat, yang bertanggung jawab atas segala perbuatan kita adalah jiwa. Jiwa adalah diri kita yang sesungguhnya, yang memilih, merasakan, dan memikul konsekuensi dari setiap perbuatannya.”
Sang anak mengernyitkan dahi. “Lalu, bagaimana dengan ruh, Ayah? Bukankah ruh juga bagian dari kita?”
Sang ayah mengangguk. “Ya, nak. Ruh adalah percikan kehidupan yang diberikan Tuhan kepada kita. Ruh itu suci, ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Tapi ruh tidak bertanggung jawab atas perbuatan kita. Yang membuat keputusan, merasakan senang dan sedih, berbuat baik atau buruk—itu semua adalah bagian dari jiwa.”
Sang anak berpikir sejenak, lalu bertanya, “Jadi, ruh dan jiwa itu berbeda?”
Sang ayah tersenyum. “Ya, ruh adalah cahaya kehidupan, seperti api yang menyalakan lampu. Sedangkan jiwa adalah bagian yang mengendalikan diri kita—ia yang berpikir, merasa, dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya.”
Sang anak mengangguk perlahan, “Jadi, di akhirat nanti, yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah jiwa kita?”
Sang ayah mengangguk. “Benar, nak. Tuhan tidak akan bertanya pada ruhmu, karena ruh hanya menjalankan tugasnya memberi kehidupan. Tapi jiwa, yang diberi akal dan kehendak, akan dimintai pertanggungjawaban atas semua pilihannya di dunia.”
Sang anak termenung, lalu berbisik, “Maka, kita harus menjaga jiwa ini, agar ia bersih dan siap menghadapi pertanggungjawaban nanti?”
Sang ayah tersenyum, “Tepat sekali, nak. Jiwa yang bersih akan kembali kepada Tuhan dengan tenang, sementara jiwa yang kotor akan menanggung beban kesalahannya. Maka, jagalah jiwa dengan kebaikan, kejujuran, dan ketakwaan.” (FR)