بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Di sebuah pesantren sederhana yang jauh dari hiruk-pikuk dunia, hidup seorang Kiai sepuh yang tidak hanya berilmu, tetapi juga memiliki jiwa yang bersih dan hati yang awas.
Suatu hari di bulan Ramadhan, sepenggal kalimat terucap dari beliau menjelang Ashar: keinginan untuk menikmati gulai kambing.
Tak lama setelah itu, muncul seekor kambing kibas gemuk, terikat tak jauh dari tempat wudhu.
Para santri gempar. Mereka membicarakan bahwa kehadiran kambing itu adalah bentuk kekeramatan sang Kiai, yang ucapannya seolah manjur dan doanya langsung terkabul.
Namun, reaksi sang Kiai justru mengejutkan. Ia memerintahkan kambing itu dilepaskan, bukan disembelih. Ia menolak untuk memakannya. Mengapa?
Karena beliau tidak ingin menumbuhkan kultus kepada dirinya sendiri. Beliau paham bahwa iblis tak hanya menggoda dengan dosa, tetapi juga dengan pujian dan sanjungan.
Bisa jadi, kambing itu bukanlah hadiah dari Tuhan, melainkan perangkap untuk memupuk kesombongan dan menanamkan keyakinan palsu kepada murid-muridnya.
Kiai tersebut mengajarkan bahwa yang paling berbahaya bagi seorang yang meniti jalan kebaikan bukan hanya maksiat, tapi ketika ia mulai merasa “istimewa” dan orang lain mulai melihatnya “lebih dari manusia biasa”.
Pelajaran-Pelajaran Ruhani dari Kisah Ini
1. Waspadai Talbis (Tipu Daya) Iblis
Iblis tidak selalu datang dalam rupa dosa besar. Ia bisa datang lewat hal yang tampaknya baik, tapi membisikkan kebanggaan, kesombongan, dan pencitraan. Iblis bisa menggunakan penghormatan orang lain untuk menjerumuskan seorang alim.
Ketika seorang guru merasa dirinya keramat, saat itu bisa jadi cahaya sudah mulai padam dan iblis mulai bersorak.
2. Jaga Niat, Jaga Keikhlasan
Apa pun yang datang dalam hidup—entah pujian, karunia, ataupun kemudahan—jangan buru-buru menganggap itu sebagai tanda keistimewaan diri. Seorang hamba sejati selalu merendah, dan mempertanyakan: “Apakah ini ujian atau anugerah?”
3. Pendidikan Ruhani Tak Cukup dengan Ilmu
Kisah ini juga menunjukkan bahwa hikmah dan kearifan jauh lebih penting daripada popularitas atau pengakuan. Sang Kiai tidak mengejar pengakuan sebagai orang suci, tapi ingin menjaga murid-muridnya dari takhayul dan pengultusan.
4. Jangan Gampang Menganggap Sesuatu sebagai Karomah
Karomah sejati bukanlah keanehan atau hal ajaib yang tampak, tetapi kemampuan menjaga akhlak, keikhlasan, dan istiqamah dalam ibadah serta kejujuran hati.
Penutup: Jalan Sunyi Orang-Orang Arif
Kisah ini adalah cermin kebijaksanaan sejati: seseorang yang justru takut ketika dipuji, dan bersyukur ketika disalahpahami, karena itu menjaga hatinya tetap bersih.
Kebesaran seseorang bukan terletak pada karomahnya, tapi pada kerendahan hatinya untuk tidak ingin disebut sebagai orang besar.
Mari kita belajar dari sang Kiai sepuh, agar tidak mudah tergoda dengan penilaian manusia, dan selalu menjaga niat serta hati dalam menapaki hidup yang penuh tipu daya ini. (FR)