R.A. Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi Perempuan Indonesia. Lewat surat-suratnya yang dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya noni-noni Belanda di Netherland ia mengeluhkan tentang nasib perempuan di negerinya. Ia menggagas pikiran tentang kemajuan kaumnya.
Sebagai perempuan bangsawan Jawa maka setelah menyelesaikan pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) di Jepara, sebuah sekolah dasar elite pada masa Hindia Belanda. Jadi, secara formal, pendidikan Kartini setara dengan SD (Sekolah Dasar) atau dalam istilah zaman dulu: Sekolah Rakyat (SR).
Setelah tamat ELS pada usia 12 tahun – sesuai dengan adat tradisi bangsawan Jawa – ia harus menjalani pingitan. Padahal ia berkeinginan untuk bersekolah lebih tinggi, bersekolah ke jenjang selanjutnya. Namun, ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara tak mengizinkannya.
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat berasal dari kalangan bangsawan Jawa (priyayi), dan cukup terbuka terhadap pendidikan Barat. Oleh karena itulah meski ia tetap memegang nilai-nilai tradisional Jawa, ia mengizinkan Kartini untuk bersekolah di ELS, yang waktu itu adalah hal yang langka bagi perempuan pribumi.
Di rumahnya, ayahnya berlangganan majalah Belanda, ada perpustakaan kecil keluarga. Latar keluarga Kartini yang mengenal literasi ikut membuka jalannya untuk mengakses literasi — meski kemudian tradisi patriarki tetap memaksanya menjalani pingitan.
Kakaknya, Raden Mas Panji Sosrokartono, atau lebih dikenal sebagai Sosrokartono ketika itu bersekolah di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia (sekolah kedokteran pribumi) dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Belanda, di Universitas Leiden. Sosrokartono adalah laki-laki yang cerdas dan memiliki pendidikan tinggi. Ia menguasai lebih dari 25 bahasa.
Ketika Kartini mulai dipingit sekitar usia 12–13 tahun, Kartono menjadi jendela dunia luar bagi adiknya. Ia rajin mengirim buku, majalah, dan surat kabar berbahasa Belanda kepada Kartini. Dukungan ini sangat penting — karena dalam masa pingitan, di mana gerak Kartini secara fisik dibatasi, buku menjadi ruang berpikir dan bernapasnya. Dari sinilah muncul banyak gagasan yang Kartini rumuskan dalam surat-suratnya: tentang pendidikan, ketidakadilan sosial, perempuan, dan kolonialisme.
Seandainya Kartini tak rajin membaca, maka barangkali ia tak tercatat dalam sejarah sebagai Perempuan Indonesia yang memperjuangkan kemajuan kaum perempuan, kaumnya.
Literasi telah mengantar Kartini menjadi Perempuan -walaupun Pendidikan hanya setingkat SD – tetapi pemikiran-pemikiran membuatnya seakan mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Terutama pemikiran-pemikiran intelektualnya. Dan pemikiran-pemikiran itu diabadikan dalam buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Dalam buku itu misalnya Kartini ia menulis tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, itu bukan sekadar ungkapan emosi, tapi hasil dari pemikiran rasional dan reflektif.
Kartini adalah contoh langka dari perempuan priyayi Jawa yang memiliki akses terhadap buku, majalah, dan surat kabar berbahasa Belanda. Ini penting karena akses itu membuatnya keluar dari dunia fisik yang terbatas dan memasuki dunia gagasan yang luas.
Dia membaca buku-buku karya penulis Eropa, tulisan feminis, dan wacana tentang pendidikan — yang akhirnya menginspirasi surat-suratnya yang bernas.
Tanpa literasi, Kartini mungkin akan menjadi perempuan yang patuh pada tradisi pingitan, menikah muda, dan menjalani hidup seperti norma umum bangsawan putri pada masanya. Tanpa literasi tidak akan ada jejak pemikirannya yang bisa menjadi inspirasi perjuangan perempuan masa kini.
Literasi memungkinkan Kartini “hidup” jauh melebihi usianya yang singkat, dan jauh melampaui zamannya. Literasi memungkinkan Kartini “hidup” jauh melebihi usianya yang singkat, dan jauh melampaui zamannya.
Literasi membentuk identitas intelektual Kartini — ia bukan hanya tokoh emansipasi karena dia perempuan, tapi karena ia penulis, pemikir, dan pembaca.
Literasi adalah fondasi bagi lahirnya kesadaran kritis Kartini.
Membaca dan menulis bukan hanya aktivitas intelektual, tapi juga bentuk perlawanan terhadap keterbatasan sosial.
Kartini adalah bukti bahwa satu perempuan yang membaca bisa menyalakan terang bagi banyak perempuan lainnya. (FR)