بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Manusia modern mungkin telah mengarungi lautan pengetahuan dan menjejakkan kaki di bulan, namun ada satu tempat yang masih terasa asing dan sepi baginya: kedalaman jiwanya sendiri.

Di sana, diam-diam, sebuah kerinduan yang purba selalu bergetar –kerinduan kepada Yang Abadi.

Kita semua, sadar atau tidak, sedang mencari jalan pulang
Pulang kepada kedamaian yang sejati, ke rumah ruhani yang tak tersentuh waktu dan kerusakan. Namun modernitas sering meninabobokan pencarian ini dengan tawaran-tawaran semu: prestise, kekayaan, hiburan tanpa makna.

Tapi siapa pun yang pernah merasakan sepi di tengah pesta, tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar dunia.

Makna Hidup: Pencarian yang Tidak Pernah Usai
Para filsuf, sufi, dan pemikir besar sepanjang zaman tak pernah berhenti membicarakan satu pertanyaan yang sama: Untuk apa manusia hidup?

Pertanyaan ini bukan sekadar filosofis, tapi eksistensial, dan lebih dari itu, spiritual. Sebab manusia bukan hanya ingin hidup, tapi ingin hidupnya bermakna.

Tanpa makna, hidup hanya jadi rangkaian hari yang berlalu –seperti jam pasir yang tumpah tanpa jejak.

Namun ketika makna hadir, bahkan air mata bisa jadi suci, dan penderitaan bisa punya arah.

Kerinduan Akan Yang Abadi
Kita seringkali mengira kita rindu kepada seseorang, tempat, atau masa lalu. Tapi sebenarnya, yang kita rindukan adalah sesuatu yang tak bisa ditentukan dengan jari –yang abadi, yang tak lenyap.

Kerinduan ini adalah fitrah. Ia seperti nyala kecil yang terus menyala dalam hati kita, betapa pun tertutupnya oleh debu dunia.

Rumi menulis:
Aku bukan berasal dari tanah ini.
Aku dari tempat yang lebih tinggi.
Dan aku sedang rindu pulang.

Itulah sebabnya, kata Rabi’ah al-Adawiyah, para kekasih Tuhan bukan beribadah karena takut neraka atau mengharap surga, melainkan karena mereka rindu. Rindu yang muncul dari makrifat, dari mengenal Allah sebagai sumber segala keindahan dan kasih sayang.

Transendensi: Jembatan dari Dunia ke Jiwa
Manusia tidak akan bisa menyelesaikan krisis makna hanya dengan ilmu pengetahuan atau kemajuan ekonomi. Sebab krisis ini adalah krisis relasi dengan yang transenden –dengan Allah, Sang Maha Hidup.

Transendensi bukan berarti melarikan diri dari dunia, tapi melihat dunia sebagai jalan menuju Allah.

Dunia hanyalah cermin.
Tapi hanya hati yang bersih yang bisa menangkap cahaya-Nya.

Inilah yang diajarkan oleh para sufi, dari al-Ghazali, al-Junaid, hingga Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
Bahwa hidup menjadi bermakna bukan karena apa yang dimiliki, tapi karena kepada siapa kita menyandarkan segalanya.

Penutup: Membangunkan Jiwa, Menyalakan Lentera
Jika dunia modern membutakan manusia pada makna hidup, maka tugas kita adalah menjadi penjaga lentera –menyulut cahaya kesadaran, menyebar getaran cinta Ilahi dalam kata dan laku.

Kita tidak bisa mengubah dunia sendirian. Tapi kita bisa menjadi seseorang yang memilih untuk berjalan dengan makna. Yang tak lelah menyapa jiwanya sendiri, yang tidak mengutuk kegelapan, melainkan menyalakan lilin.

Karena hidup sejati bukan soal panjangnya umur, tapi sejauh mana kita berjalan menuju Yang Abadi. (FR)