بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Banyak manusia tahu bahwa dirinya berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Pernyataan ini begitu sering kita dengar, bahkan kita ucapkan sendiri dalam berbagai kesempatan: ketika takziah, ketika salat jenazah, atau dalam dzikir dan munajat. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” –satu kalimat yang menyimpan kesadaran ontologis tertinggi bahwa kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Namun, sering kali pengetahuan ini hanya berhenti di ranah kognitif –di kepala, bukan di dada. Ia menjadi sekadar wacana religius, bukan realitas eksistensial. Ia diingat di mulut, tapi tidak dihayati dalam sikap hidup.

Maka tak heran, kita melihat orang yang fasih berkata “semua milik Allah,” tapi saat kehilangan jabatan, harta, atau pujian, hatinya goyah, egonya menggila.

Pengetahuan Tanpa Kesadaran
Inilah salah satu paradoks spiritual manusia: mengetahui tanpa menyadari. Ia seperti seseorang yang tahu arah kiblat, tapi tak pernah melangkah untuk salat. Atau seperti orang yang tahu bahwa waktu hidup terbatas, tapi tetap hidup seolah-olah tidak akan mati.

Dalam istilah tasawuf, makrifat bukan sekadar tahu, tetapi sadar. Sadar dengan seluruh getaran jiwa. Sebab ketika benar-benar sadar bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka seluruh cara hidup kita berubah. Kita menjadi lebih lembut, rendah hati, penuh kasih, dan tidak terpaku pada dunia yang sementara.

Cermin Keinsyafan
Manusia yang menginsyafi asal dan tujuan hidupnya akan terlihat dalam kesederhanaannya dalam menanggapi kehidupan, keteguhannya menghadapi ujian, dan kelembutannya terhadap sesama.

Ia sadar bahwa segala sesuatu hanyalah titipan, dan dirinya hanya musafir yang sedang singgah sebentar.

Ia tidak akan tega menindas, karena tahu setiap perbuatannya akan kembali kepada dirinya. Ia tidak akan sombong atas keberhasilannya, karena menyadari bahwa semua hanyalah amanah dari Yang Maha Kuasa. Ia tidak akan rakus akan dunia, karena tahu tanah adalah tempat akhirnya.

Dari Ilmu ke Rasa
Apa yang dibutuhkan manusia modern saat ini bukanlah tambahan informasi semata, melainkan perjalanan batin dari kepala ke hati. Dari tahu menjadi sadar. Dari sadar menjadi taat.

Karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup adalah cahaya, tapi cahaya itu harus dijaga, dirawat dengan dzikir, tafakur, amal, dan cinta.

“Ilmu yang tidak menggerakkan hati hanyalah hiasan intelektual. Tapi kesadaran yang lahir dari ilmu akan melahirkan kehidupan yang bercahaya.”

Semoga kita tidak hanya tahu bahwa kita berasal dari Allah, tapi juga benar-benar menghayati kehidupan ini sebagai perjalanan kembali kepada-Nya.

Dengan begitu, hidup kita akan terisi makna, dan setiap langkah menjadi langkah pulang –menuju cahaya yang abadi. (FR)