بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh –sebuah momentum yang lahir dari sejarah panjang perjuangan menuntut keadilan bagi para pekerja.
Di Indonesia sendiri, Hari Buruh bukan hanya menjadi simbol perjuangan hak-hak buruh, tetapi juga menjadi pengingat tentang pentingnya membangun hubungan harmonis antara buruh dan majikan.
Dalam kenyataannya, buruh dan majikan adalah dua kelompok yang saling membutuhkan. Buruh membutuhkan pendapatan untuk menghidupi keluarganya, membangun kehidupan yang layak, dan mencapai kesejahteraan.
Sebaliknya, majikan membutuhkan tenaga buruh agar usaha dan bisnisnya berjalan, berkembang, dan memberi manfaat. Ini adalah relasi yang semestinya dibangun di atas kesalingan, bukan permusuhan.
Namun, dalam realitas sosial, hubungan ini kerap diwarnai ketegangan. Buruh memperjuangkan hak-haknya –upah yang layak, jam kerja manusiawi, jaminan sosial, dan perlakuan adil. Di sisi lain, majikan tak jarang beralasan belum mampu meningkatkan kesejahteraan buruh karena tekanan bisnis dan keterbatasan keuangan.
Jika kejujuran dan keterbukaan menjadi dasar, banyak pertikaian sebenarnya bisa dicegah. Tapi jika keegoisan dan manipulasi mendominasi, maka ketidakadilan dan pertentanganlah yang lahir.
Di negeri ini, kita telah diwarisi oleh para pendiri bangsa sebuah falsafah hidup: Pancasila. Sesungguhnya Pancasila menawarkan jalan tengah yang mulia untuk menyelesaikan persoalan buruh dan majikan.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengajarkan kejujuran, amanah, dan kasih sayang. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, menuntut semua pihak memperlakukan satu sama lain dengan keadilan dan penuh perikemanusiaan. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, menegaskan bahwa dalam pertalian nasional, buruh dan majikan bukanlah lawan, melainkan sesama anak bangsa yang harus bersatu.
Sila keempat dan kelima, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, mendorong penyelesaian masalah melalui dialog, bukan dominasi, dengan tujuan akhir membangun keadilan bersama.
Refleksi pada Hari Buruh 1 Mei ini mengingatkan kita:
Bahwa hubungan industrial bukanlah tentang siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling bijak dan berkeadilan.
Bahwa keadilan bukan hanya tuntutan buruh, tapi juga kehormatan bagi majikan.
Bahwa kesejahteraan bukan hanya hasil kerja keras buruh, tetapi juga buah dari kebijaksanaan pengusaha.
Hari Buruh bukan hari untuk memperuncing pertentangan, tetapi hari untuk memperdalam rasa hormat atas kerja manusia dan menyalakan kembali spirit solidaritas, keadilan, dan kemanusiaan. (FR)