بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Dalam masyarakat tradisional kita, pendidikan bukanlah soal bangku sekolah, bukan soal kurikulum yang dirancang negara. Pendidikan mengalir bersama kehidupan: dalam keluarga, di ladang, di surau, di balai desa.
Anak-anak tumbuh dengan mempelajari kejujuran, kerja keras, penghormatan kepada sesama, dan ketaatan kepada Tuhan –semua itu tanpa ruang kelas, tanpa upacara seremonial kelulusan.
Namun, seiring dengan laju modernitas, pendidikan berubah wajah. Sekolah menggantikan keluarga. Guru mengambil alih peran orangtua. Anak-anak dididik di ruang-ruang berpendingin udara, dengan target nilai ujian dan gelar akademik. Ini membawa manfaat: lahirnya para insinyur, ekonom, dokter, dan ahli teknologi. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang hilang: ruh nilai.
Hari ini, kita menyaksikan fenomena yang menyedihkan: orang pintar tapi korup. Mereka lulus dari universitas bergengsi, fasih berbicara di forum internasional, tetapi tidak segan mengkhianati amanah publik. Mereka menguasai rumus matematika dan teori hukum, namun gagal memahami makna kejujuran. Inilah paradoks zaman modern: kecerdasan yang tidak diiringi kemuliaan jiwa.
Di tengah sungai kehidupan bangsa ini, yang tampak mengapung bukanlah emas, melainkan kotoran. Bukan karena emas tidak ada — ada. Tetapi karena emas-emas itu tenggelam di dasar, tersembunyi di antara hiruk-pikuk popularitas semu dan pencitraan kosong. Yang ramai di permukaan adalah kebisingan para pemburu kuasa, bukan ketulusan para pelayan bangsa.
Apa yang salah?
Yang salah adalah pemahaman kita tentang pendidikan. Kita terlalu mengejar output — nilai ujian, indeks prestasi, ranking universitas — tetapi melupakan outcome sejati: karakter, integritas, akhlak mulia. Kita mendidik anak-anak untuk mencari nafkah, tetapi tidak mendidik mereka untuk hidup bermakna.
Padahal, pendidikan sejati adalah pembentukan manusia seutuhnya — akal, hati, dan perbuatan. Tanpa nilai, ilmu hanyalah pedang di tangan perampok; keahlian hanyalah pisau bermata dua yang bisa digunakan untuk menipu, mencuri, dan mengkhianati.
Kini, kita berhadapan dengan pertanyaan mendasar: Mau dibawa ke mana arah pendidikan kita? Apakah kita puas hanya melahirkan manusia-manusia pintar tapi culas? Ataukah kita akan berani kembali menanamkan kejujuran, kesederhanaan, rasa malu, dan cinta kebenaran dalam sistem pendidikan kita?
Kita harus sadar: bangsa besar tidak dibangun oleh gelar akademik semata, tetapi oleh akhlak mulia. Tidak ada gunanya mendirikan ribuan sekolah dan universitas, jika akhirnya hanya melahirkan generasi yang kehilangan arah.
Pendidikan adalah pilar peradaban. Jika tiang ini rapuh, seluruh bangunan bangsa akan runtuh. Jika pendidikan hanya mencetak orang pintar tapi miskin jiwa, maka masa depan kita bukanlah kemajuan, melainkan kehancuran yang rapi.
Mari kita merebut kembali ruh Pendidikan. Bukan hanya mengisi kepala, tetapi juga menghidupkan hati. Bukan hanya membentuk manusia karier, tetapi manusia yang mencintai kebenaran. Agar suatu hari nanti, emas-emas yang sekarang tenggelam itu dapat muncul ke permukaan, dan sungai bangsa ini kembali jernih. (FR)