بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Syekh al-Suhrawardi, seorang sufi besar, pernah berkata: “Jika kata-kata lahir dari hati, maka ia akan masuk ke hati. Tapi jika berasal dari lidah, ia hanya akan berhenti di telinga.”

Kata-kata ini sederhana, tapi sarat makna. Ia menyingkap hakikat dari kejujuran batin dan kekuatan kata yang bersumber dari kedalaman nurani.

Dalam dunia yang bising oleh retorika, promosi, status media sosial, dan suara-suara tanpa jiwa, ucapan sering kehilangan ruhnya. Banyak yang pandai berbicara, tapi sedikit yang ucapannya menggugah.

Mengapa? Karena kata-kata itu hanya lahir dari lidah, bukan dari hati. Ia dicipta untuk didengar, bukan untuk dimaknai. Ia berisik tapi hampa, berisi tapi tak menyentuh.

Sebaliknya, kata yang lahir dari hati adalah kata yang telah lebih dulu menjadi pengalaman. Ia tidak dipoles untuk kesan, tapi jujur apa adanya. Kata semacam ini ibarat air yang keluar dari mata air paling dalam –tenang, jernih, dan menghidupkan. Itulah sebabnya, kata dari hati menembus lapisan-lapisan telinga, pikiran, lalu bersarang di hati orang lain, memberi bekas yang lama.

Dalam tradisi sufisme, hati bukan sekadar pusat emosi, tapi juga ruang spiritual terdalam, tempat Allah bersemayam. Maka kata yang lahir dari hati, sejatinya juga membawa cahaya ilahi. Itulah sebabnya mengapa doa orang yang tulus, walau tanpa banyak kata, lebih kuat daripada pidato panjang tanpa getaran rasa.

Kita bisa belajar dari ini:
Jika kita ingin menyentuh orang lain, mulailah dari menyentuh kejujuran dalam diri sendiri. Jika kita ingin kata-kata kita didengar, pastikan mereka lahir dari kedalaman, bukan sekadar kepandaian.

Sebab, suara yang berasal dari hati, akan menemukan jalannya ke hati.

Dan suara yang hanya lahir dari lidah, akan menguap bersama angin yang lewat.

Menulis, berbicara, bahkan diam pun akan menjadi bermakna –jika datang dari hati yang terjaga. (FR)