بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Tegak dan kukuhnya bangsa hanyalah mungkin dengan budi pekerti dan moralitas. Jika mereka tak lagi berbudi pekerti, tunggu saja kehancurannya.” Ahmad Syauqi Beik
Kata-kata ini bukan sekadar nasihat bijak, tetapi hukum baja sejarah.
Jika kita membuka lembar demi lembar kisah peradaban manusia, dari Romawi hingga Dinasti Abbasiyah, dari Majapahit hingga Kesultanan Utsmani, satu benang merah terlihat jelas: bangsa-bangsa besar runtuh bukan karena musuh dari luar, tapi karena kerusakan dari dalam –keruntuhan budi pekerti, runtuhnya akhlak para pemimpinnya, lunturnya moral rakyatnya.
Budi pekerti bukan pelengkap –ia adalah pondasi. Tanpa budi pekerti, hukum menjadi alat manipulasi, kekuasaan berubah menjadi alat penindasan, dan kekayaan hanya menjadi milik segelintir orang.
Dalam kehidupan modern hari ini, di mana teknologi meroket dan kemajuan materi menjadi kiblat, bangsa-bangsa yang kehilangan akarnya –yakni nilai moral dan integritas– perlahan menuju kehancuran yang sunyi tapi pasti.
Lihatlah negeri yang pemimpinnya pintar tapi korup.
Negeri yang rakyatnya terdidik tapi tak jujur.
Negeri yang institusinya kuat tapi tak berakhlak.
Mereka seperti gedung pencakar langit dengan pondasi rapuh: menjulang tinggi, tapi satu guncangan moral saja cukup untuk merobohkannya.
Ahmad Syauqi Beik, pujangga besar Mesir, mengingatkan kita bahwa sehebat apapun sistem, sehebat apapun senjata, sehebat apapun strategi ekonomi, tak ada yang bisa menyelamatkan sebuah bangsa jika moral dan akhlaknya hancur.
Dan inilah cermin bagi kita:
Sudahkah budi pekerti kita hidup dalam rumah, sekolah, parlemen, kantor, media, dan masjid-masjid kita?
Atau kita hanya pandai menyanyikan lagu kebangsaan, menghafal sila Pancasila, tapi gagal menghidupkan nilai-nilai luhurnya dalam laku hidup sehari-hari?
Bangsa ini tak akan runtuh karena kekurangan cendekiawan, tapi karena kekurangan orang jujur.
Bangsa ini tak akan hancur karena kemiskinan, tapi karena kehilangan rasa malu.
Bangsa ini tak akan roboh karena musuh asing, tapi karena pengkhianatan dari anak-anaknya sendiri yang tak lagi mengenal makna budi pekerti.
Maka marilah kita mulai membangun ulang kekuatan bangsa ini –bukan hanya dengan beton dan baja, tapi dengan moral yang hidup dan akhlak yang menyala.
Sebab tegaknya bangsa bukan dimulai dari megahnya gedung pemerintahan,
tapi dari tegaknya hati nurani rakyat dan pemimpinnya. (FR)