بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Bulan-bulan ini, gelombang jamaah haji Indonesia tengah berangkat menuju Tanah Suci. Di bawah langit Makkah, mereka akan menunaikan salah satu rukun Islam yang agung: haji.
Lebih dari sekadar perjalanan spiritual, ibadah haji adalah perjalanan menyadari hakikat hidup –bahwa manusia hanyalah musafir, bahwa dunia ini hanya persinggahan, dan bahwa kita semua kelak akan kembali ke hadirat Allah SWT.
Namun, ibadah haji juga tak berhenti pada dimensi individual. Ia membawa serta kesadaran kolektif, tanggung jawab sosial, dan jiwa kebangsaan.
Seorang haji yang mabrur bukan hanya kembali dengan jiwa yang bersih, tetapi juga dengan pandangan yang jernih terhadap kondisi bangsanya.
Mereka tahu bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Bahwa kemiskinan, ketimpangan, korupsi, dan kehancuran moral menyelimuti bumi pertiwi.
Maka doa-doa mereka di Tanah Haram tidak semata-mata untuk keselamatan pribadi dan keluarga, tetapi juga bagi bangsa dan negara yang mereka cintai.
Jamaah haji yang sadar akan nasib bangsanya adalah pejuang spiritual sekaligus nasionalis sejati.
Di tengah jutaan umat Islam yang berkumpul di padang Arafah dan Multazam, mereka memanjatkan harap agar Indonesia dianugerahi pemimpin-pemimpin yang adil, jujur, dan bertaqwa.
Bukan pemimpin yang hanya memoles citra dan menguras harta negara, tapi pemimpin yang benar-benar memikul amanah untuk membawa rakyat keluar dari penderitaan.
Doa seorang haji, terlebih yang mabrur, tidaklah sembarangan. Ia adalah doa yang penuh harap dan keyakinan, doa yang menembus langit, doa yang dijanjikan ijabah.
Jika jutaan jamaah haji Indonesia membawa misi ini, maka perjalanan mereka bukan hanya membawa berkah pribadi, tapi juga membawa gelombang perubahan spiritual bagi negeri.
Maka mari kita doakan dan percaya bahwa setiap tetes air mata dan doa mereka di Tanah Suci menjadi bagian dari perjuangan mewujudkan bangsa yang adil, makmur, dan diridhai Allah. (FR)