Ketika salju mulai menebal dan melumpuhkan keseharian keluarga serta teman-temannya di Moskow, Daria Ivanova berkemas-kemas, menjejali kopernya dengan sandal, pakaian musim panas dan baju renang.

Sejak Januari lalu, konsultan media sosial berusia 23 tahun ini tinggal di kamar sewaan yang terletak hanya beberapa menit dari pantai di Bali. Hari-harinya diisi dengan menjalankan perusahaan konsultan kecil dari co-working space atau ruang kerja bersama tidak jauh dari tempatnya tinggal.

“Komunitas digital nomad dan para pekerja remote sedang berkembang di sini (Bali). Jadi berada di sini sangat baik untuk membangun jaringan dan mencari ide baru,” kata Ivanova kepada CNA, yang mengaku menikmati perubahan ritme kehidupan dan suasana dari kampung halamannya di Rusia.

“Setiap sore, saya bisa jalan-jalan di pantai, dan setiap akhir pekan, saya bisa bepergian dan menjelajah bagian lain dari pulau Bali.”

Pemikiran untuk pindah secara permanen ke Bali telah muncul di benaknya sejak dua setengah tahun yang lalu, ketika dia pertama kali menginjakkan kaki di pulau yang terkenal dengan pemandangannya yang indah dan kebudayaannya yang unik itu.

“Saya pernah bekerja di tujuh negara berbeda, tapi tidak ada satu pun yang bisa mendekati Bali,” kata dia.

Bekerja remote atau jarak jauh kian populer pasca pandemi COVID-19, ditandai semakin banyaknya orang yang bepergian dan menjadi digital nomad alias pengembara digital seperti Ivanova.

Menurut studi tahun 2023 oleh MBO Partners, sebuah perusahaan konsultan untuk pekerjaan remote, ada sekitar 35 juta digital nomad di seluruh dunia, naik 131 persen dibanding masa sebelum pandemi.

Namun para pengamat dan aktivis mengatakan gelombang kedatangan digital nomad menyebabkan overtourism, yaitu membeludaknya jumlah wisatawan, dan meroketnya harga properti di banyak tempat di seluruh dunia.

Hal ini terjadi di daerah-daerah favorit turis di Asia Tenggara seperti Phuket di Thailand yang mengalami kenaikan harga properti rata-rata 8 persen pada 2024 dan di Langkawi, Malaysia, yang harganya naik 4 persen.

Tapi itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan Denpasar, ibukota Bali, yang harga propertinya naik hingga 15,1 persen tahun lalu berdasarkan catatan beberapa agen properti.

Kebutuhan akan properti naik pesat sehingga desa-desa petani yang sepi kini diubah menjadi kota-kota yang dipenuhi restoran-restoran kelas atas vila-vila bergaya modern.

Inilah alasan mengapa Ivanova masih belum ingin menjadikan Bali sebagai rumah kedua.

“Ketika pertama saya datang ke Bali, semuanya serba murah. Sekarang, pengeluaran saya sudah sama seperti di Moskow,” kata dia.

Meski kemajuan terjadi di Bali, namun hanya sedikit warga lokal yang merasakan manfaatnya. Harga-harga yang naik seiring banyaknya digital nomad yang datang semakin tak terjangkau oleh warga Bali. Tidak jarang, kondisi ini memicu gesekan antara masyarakat setempat dan para ekspat pekerja remote.

“Memiliki rumah semakin tidak terjangkau bagi kami orang Bali,” kata warga setempat, Nyoman Denny.

Harga-harga Kian Meroket
Tahun lalu, jumlah digital nomad yang datang ke Bali naik 40 persen dibanding 2023.

Berdasarkan jumlah visa yang dikeluarkan setiap tahunnya, diperkirakan saat ini ada lebih dari 3.000 digital nomad tinggal di Bali.

Jumlahnya memang tidak terlihat banyak jika dibandingkan populasi Bali yang berjumlah 4,4 juta orang. Namun angka itu diduga hanya perkiraan kasar, karena warga asing bisa memasuki Bali selama sebulan dengan visa turis lalu memperbaruinya dengan tambahan 30 hari.

Beberapa warga dari negara tertentu bahkan bebas visa.

Gelombang pertama kedatangan digital nomad ke Bali terjadi pada tahun 2010-an, ketika internet berkecepatan tinggi mulai merambah daerah pinggiran, tidak terbatas hanya di kota-kota besar.

“Bagi para digital nomad ini, lebih murah mendapatkan gaya hidup yang mereka mau di Bali dibanding di tempat mereka berasal,” kata Hansen Tandiyanto, pemilik Biliq, sebuah jaringan ruang kerja bersama di Bali, kepada CNA.

“Alasan lainnya, Bali telah memiliki komunitas ekspat yang kuat. Mereka jadi mudah menemukan orang-orang dari negara yang sama, bicara bahasa yang sama dan berbagi budaya yang sama. Jadi bagi mereka, Bali seperti rumah yang jauh dari rumah.”

Hansen mengatakan, gelombang awal kedatangan digital nomad didominasi oleh orang-orang dari industri teknologi dan pialang saham. “Lalu terjadi pandemi COVID-19 dan semua orang jadi sadar bahwa mereka bisa bekerja dari mana saja.”

Di saat yang sama, Bali yang 80 persen perekonomiannya bergantung pada sektor pariwisata, hancur saat pandemi mendera.

Di puncak pandemi, ratusan hotel, restoran dan toko di Bali harus berhenti beroperasi sementara atau secara permanen.

Kondisi ini menyebabkan setidaknya 78.000 orang kehilangan pekerjaan, berdasarkan data dinas tenaga kerja Bali.

Dengan tingkat okupansi hampir nol, para pemilik hotel dan vila mulai memberikan diskon demi mendapatkan pemasukan sekecil apa pun.

“Saya melihat vila-vila yang biasanya disewakan Rp2 juta per malam, ditawarkan Rp2 juta per minggu atau bahkan per 15 hari,” kata Febby Ayu, akuntan berusia 34 tahun yang pindah ke Bali dari Jakarta, kepada CNA.

Harga yang ditawarkan antara tahun 2020 dan 2021, ketika negara-negara di seluruh dunia menutup perbatasan, berhasil mengundang ratusan orang dari kota-kota di seluruh Indonesia berdatangan ke Bali.

“Kantor saya mengerti, bahwa di mana pun saya bekerja tidak akan mempengaruhi produktivitas,” kata Febby. “Meski saya mengaku, kadang saat bekerja saya berpikir ‘kapan bisa ke pantai?’.”

Namun diskon besar-besaran itu tidak berlangsung lama. Bahkan, harga mulai naik lagi pada Januari 2022 ketika Indonesia mulai membuka perbatasan dan memberikan visa khusus untuk digital nomad.

Dikenal sebagai visa kunjungan C1, izin ini bisa digunakan warga asing untuk tinggal di Indonesia selama 60 hari dan dapat diperpanjang dua kali. Syaratnya, para pemohon harus menunjukkan bukti bahwa mereka bekerja di perusahaan luar Indonesia dan membayar biaya visa sebesar Rp1 juta.

Para pemegang visa ini dilarang mencari nafkah dari perusahaan Indonesia, hanya boleh menerima gaji atau upah dengan bekerja secara remote untuk perusahaan dan klien yang berbasis di luar negeri.

Selain visa C1, ada visa lainnya yang tersedia antara lain visa turis yang berlaku selama 30 hari. Ada juga visa E33G yang memungkinkan keluar-masuk Indonesia selama 12 bulan, dengan syarat pemegangnya adalah karyawan perusahaan asing dengan pemasukan minimal US$60.000 per tahun.

“Tiba-tiba harga sewa jadi naik tiga sampai empat kali lipat dibanding masa pandemi,” kata Febby yang sudah pindah tiga kali selama empat tahun terakhir karena tak sanggup bayar sewa.

Jika pada akhirnya benar-benar tidak mampu lagi membayar sewa, Febby bisa kapan saja kembali ke Jakarta. Tapi tidak demikian halnya dengan warga asli Bali.

“Kami harus menyewa rumah di pinggiran kota atau bahkan di kota lain karena kami tidak mampu lagi hidup di Denpasar,” kata Ni Wayan Laksmi, pegawai hotel, kepada CNA. “Bagaimana kami bisa bersaing dengan orang asing yang bayarnya pakai dolar?”

Pesona yang Memudar
Harga yang semakin mahal bukanlah satu-satunya masalah yang muncul.

Di sekitar kota Denpasar, bermunculan vila, toko, bar dan restoran, mengubah wajah desa-desa menjadi kota yang ramai.

“Beberapa tahun lalu, persawahan terlihat sejauh mata memandang. Sekarang, hanya ada sepetak kecil sawah yang tersisa, dikelilingi rumah-rumah dan bangunan,” kata warga asli Bali, Wayan Aditya, kepada CNA.

Sebelum munculnya demam digital nomad, kata Aditya, turis-turis kebanyakan tinggal di hotel atau hostel. Tapi sekarang, para pekerja remote lebih memilih privasi dan ruangan lebih besar dengan menyewa vila-vila.

Dengan prospek keuntungan hingga ribuan dolar setiap bulannya, para pemilik tanah yang kaya mulai mengubah lahan persawahan mereka menjadi vila untuk disewakan. Mereka yang tidak punya modal membangun vila, lantas menjual tanah kepada investor dari dalam atau luar negeri.

Kondisi ini semakin diperparah oleh pandemi COVID-19. “Orang-orang menjual tanah mereka karena tidak ada pilihan lain. Bali sangat bergantung pada pariwisata, kami tidak ada pemasukan lain,” kata Aditya.

Menurut perusahaan pengawas properti AirDNA, saat ini ada sekitar 83.500 properti yang disewakan di Bali dan jumlahnya bertumbuh antara 20 hingga 27 persen setiap tahunnya.

Pembangunan infrastruktur publik seperti jalan dan sistem drainase tidak sanggup mengejar pesatnya pertumbuhan properti ini. Akibatnya, terjadi kemacetan dan banjir yang semakin parah.

“Bali semakin padat, tapi jalanannya tidak semakin besar. Lalu lintasnya kacau sekali, kadang butuh dua jam hanya untuk mencapai jarak kurang dari 10 km,” kata pakar transportasi Djoko Setijowarno kepada CNA.

“Sementara itu, hampir tidak ada transportasi umum di Bali, turis terpaksa naik taksi atau sewa kendaraan.”

Bali mencoba mengatasi masalah lalu lintas ini dengan membangun jaringan LRT sepanjang 33 km. Dua jalur pertama yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan pantai Cemagi di utara dan Nusa Dua di selatan diperkirakan mulai beroperasi pada 2031.

Akibat semakin banyak lahan yang diubah menjadi permukiman dan bangunan, maka banjir semakin parah. Pada 12 Februari lalu, beberapa wilayah di Denpasar terendam air hingga setinggi pinggang. Puluhan turis asing terjebak di vila mereka dan terpaksa dievakuasi dengan perahu karet.

Bagi Christian Moser, konsultan IT berusia 60 tahun, Bali perlahan mulai kehilangan pesonanya.

“Saya melihat banyak pembangunan di Bali yang tidak berkelanjutan. Kehidupan yang tenang, pemandangan, hijaunya persawahan, perlahan mulai hilang atau dirusak polusi dan sampah,” kata Mosel, yang sudah bolak-balik tinggal di Bali sebagai digital nomad selama dua tahun terakhir, kepada CNA.

Berat Pindah dari Bali


Sejalan dengan bertambahnya orang asing yang tinggal di Bali sebagai digital nomad, maka gesekan dengan warga lokal semakin tidak terhindarkan.

Pada September 2022, selang delapan bulan setelah pemerintah memperkenalkan visa digital nomad, sebuah petisi online muncul meminta kebijakan itu dicabut.

Para pembuat petisi mengatakan orang-orang asing itu tidak menghormati adat istiadat setempat, termasuk mengadakan pesta hingga larut malam, mengemudi dalam keadaan mabuk dan terlibat perkelahian dengan warga atau turis asing lainnya. Setidaknya 8.000 orang menandatangani petisi tersebut.

“Masalahnya, tidak semua orang yang mengaku digital nomad benar-benar profesional yang bekerja secara remote. Kebanyakan mereka adalah influencer yang ingin membuat konten tidak bermutu,” kata pakar pariwisata Azril Azhari.

“Pemerintah harus lebih selektif dalam mengeluarkan visa digital nomad.”

Kepala dinas pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengaku bahwa “peraturannya harus diperketat” agar visa hanya dikeluarkan bagi mereka yang benar-benar layak. Saat ini, kata dia, pemerintah provinsi Bali tengah membahas perubahan persyaratan visa dengan Kementerian Imigrasi di Jakarta.

Namun Pemayun tidak setuju dengan petisi yang meminta agar kebijakan itu dicabut sepenuhnya.

“Bali membutuhkan turis yang tinggal jangka panjang dan membelanjakan uang mereka. Itulah alasan mengapa perekonomian kami tetap bertahan selama masa pandemi COVID-19,” kata dia kepada CNA.

“Pemerintah juga merasa bahwa bekerja secara remote telah menjadi hal yang biasa. Bekerja sambil berlibur bukan lagi keistimewaan segelintir orang di sektor tertentu. Kita harus memanfaatkan tren ini.”

Pemayun mengakui kebijakan ini telah menyumbang pada pembangunan yang berlebihan di beberapa wilayah Bali.

“Itulah mengapa kami tengah mencoba membangun wilayah-wilayah yang kurang berkembang, agar tidak ada konsentrasi wisatawan yang berlebihan di satu bagian Bali,” kata dia.

Para ahli menyarankan agar pemerintah juga melirik daerah lainnya di luar Bali, apakah bisa juga dijadikan pusat bagi para digital nomad.

“Negara-negara lain punya beberapa pusat wisata. Sementara di Indonesia, kebanyakan wisatawan hanya tahu Bali dan kurang tertarik mengunjungi daerah lain,” kata pakar pariwisata, Azril.

“Inilah sebabnya dampak digital nomad terhadap overtourism lebih terasa di Bali dibandingkan dengan tempat-tempat seperti Bangkok atau Kuala Lumpur.”

Meski tidak ada angka resmi, namun beberapa media dan perusahaan riset memperkirakan ada puluhan ribu digital nomad di Thailand, menjadikan negara itu salah satu tempat tujuan populer bagi para pekerja remote.

Di Thailand, mereka tersebar di beberapa lokasi wisata populer, seperti Bangkok, Phuket dan Chiang Mai.

Sementara Malaysia didatangi sekitar 1.500 digital nomad tahun lalu, yang 73 persennya memilih tinggal di dekat ibukota Kuala Lumpur. Namun jumlah pekerja asing remote yang memilih tinggal di kawasan wisata seperti Penang dan Langkawi juga mulai berkembang.

“Sementara di Indonesia, turis hanya tahunya Bali karena Indonesia kurang melakukan promosi untuk destinasi lainnya,” kata Azril.

Dari hampir 14 juta turis asing yang ke Indonesia tahun lalu, 5,5 juta di antaranya mendarat di Bandara Ngurah Rai Bali. Sebagai perbandingan, Bandara Soekarno Hatta hanya kedatangan 2,1 juta wisatawan asing.

Sejak 2016, pemerintah Indonesia telah berusaha mengembangkan dan mempromosikan 10 destinasi wisata yang diharapkan bisa menjadi “Bali yang baru”.

Pada 2023, fokusnya dikerucutkan menjadi lima “destinasi super prioritas”: Danau Toba di Sumatra Utara, Borobodur di Jawa Tengah, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur dan Likupang di Sulawesi Utara.

Kendati berbagai upaya yang telah dilakukan, namun infrastruktur dan ekosistem pariwisata di tempat-tempat itu masih jauh berkembang ketimbang Bali.

Walau internet berkecepatan tinggi bisa didapatkan di mana saja, bahkan di pelosok, dengan teknologi seperti jaringan berbasis satelit Starlink milik Elon Musk, namun para digital nomad masih merasa berat pindah dari Bali ke lima destinasi di atas.

Tanay Mishra, konsultan pemasaran digital kelahiran India, telah berkeliling dunia sebagai digital nomad dalam 10 tahun terakhir. Namun dia terus kembali ke Bali, sampai akhirnya beberapa tahun lalu dia memutuskan menjadikan Pulau Dewata sebagai rumahnya.

“Di Bali, kamu bisa ke pantai-pantai yang tenang dan pusat kota yang ramai hanya beberapa menit berkendara dari tempat tinggal. Di sini kamu akan menemukan orang-orang yang paling ramah dan makanan yang paling enak,” kata pria 35 tahun ini.

“Iya, orang-orang memang mengeluhkan macet dan semuanya yang jadi mahal. Tapi begitu kamu bisa melalui itu semua, Bali akan mencuri hatimu dan kamu tidak akan bisa berpaling lagi.”

|CNA Indonesia/Nivell Rayda|