“Life is about making an impact, not making an income.” Kevin Kruse
Hidup adalah tentang memberi pengaruh, bukan semata mengejar penghasilan.
Kata-kata bijak dari Kevin Kruse ini menggedor kesadaran kita di tengah zaman di mana kekayaan sering dijadikan tolok ukur keberhasilan.
Banyak orang mengejar angka-angka: gaji besar, aset bertumpuk, saldo rekening tebal. Namun, lupa bahwa semua itu sejatinya hanya sementara –seperti bayang-bayang yang lenyap saat cahaya berubah arah.
Kita lupa bahwa hidup bukan soal berapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa besar manfaat yang kita berikan.
Tidak jarang, dalam pengejaran terhadap penghasilan, orang rela mengorbankan persahabatan, kejujuran, bahkan martabat. Intrik politik, persaingan tak sehat, dan kerakusan merajalela demi sejumput angka yang membutakan hati.
Kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang meninggalkan jejak kebaikan, bukan tumpukan kekayaan yang esok hari akan diwariskan atau bahkan diperebutkan.
Dalam sebuah kisah agung, Nabi Musa as berdialog dengan Allah. Ketika Musa merasa telah mempersembahkan segala ibadahnya untuk Allah –sholat, dzikir, haji, puasa– Allah justru mengingatkannya:
“Salatmu, puasamu, dzikirmu –semuanya untukmu. Karena itu membuatmu menjadi lebih baik, lebih bersih, lebih kuat menghadapi nafsumu.”
Namun, ada satu ibadah yang Allah nyatakan sebagai ibadah untuk-Nya secara langsung: sedekah.
“Tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang kesusahan dengan sedekah, sesungguhnya Aku berada di sampingnya.”
Betapa dalam makna ini. Ternyata, mengulurkan tangan kepada sesama yang lemah adalah ibadah yang membuat Tuhan tersenyum.
Sedekah tidak hanya mengangkat derajat si miskin, tapi juga menumbuhkan kasih dalam jiwa si dermawan. Sebab dalam diri orang yang sedang kelaparan, Tuhan menitipkan peluang bagi kita untuk benar-benar menyentuh langit dengan laku-laku kemanusiaan.
Lalu kita bertanya: Apa arti kekayaan jika tak menyentuh kehidupan orang lain?
Apa gunanya pendidikan tinggi, jabatan hebat, gaji besar –jika semua itu tak berdampak pada siapa pun selain ego kita sendiri?
Kisah Musa adalah peringatan bahwa ibadah tidak hanya soal ritual, tapi bagaimana ritual itu menjelma menjadi aksi nyata yang menolong, mencerahkan, dan menguatkan mereka yang lemah.
Hari ini, mari kita renungkan:
Apakah kehadiran kita telah menjadi pelita dalam kehidupan orang lain?
Apakah keberhasilan kita berdampak bagi mereka yang masih terjebak dalam kesulitan?
Atau justru kita sedang sibuk membangun menara pencapaian pribadi yang tak pernah menengok ke bawah?
Refleksi ini mengajak kita untuk menata ulang makna hidup:
Bahwa sukses bukan sekadar angka, tapi makna.
Bahwa kebahagiaan bukan karena memiliki banyak, tapi karena memberi lebih banyak.
Bahwa hidup yang besar bukan karena dikenal orang banyak, tetapi karena menyentuh hati banyak orang.
Karena pada akhirnya, Tuhan tidak bertanya: “Berapa saldo rekeningmu?”
Tapi, “Apa yang kau lakukan dengan apa yang telah Aku titipkan padamu?”
Dan semoga, di hari itu, kita bisa menjawabnya dengan senyum –dan bukan dengan penyesalan. (FR)