Ketika Lenny, perempuan Dayak Iban di pedalaman Kalimantan Barat, mengenang masa kecilnya –di mana hutan adalah rumah, sumber hidup, dan tempat bermain– ia tak pernah membayangkan bahwa dalam sekejap, semuanya akan hilang.
Sebuah perusahaan sawit datang membawa surat izin, lalu membawa pergi hutan, air, udara, dan akhirnya, kehidupan yang diwariskan nenek moyangnya.
Apa yang terjadi di tanah Dayak bukan sekadar pergeseran ruang hidup. Ia adalah perampasan identitas. Ketika komunitas adat dipaksa meninggalkan tanah leluhurnya, bukan hanya batang pohon yang ditebang, tetapi juga akar-akar budaya, nilai-nilai spiritual, dan kearifan lokal yang telah hidup berabad-abad.
Masyarakat Dayak Iban dan komunitas adat lainnya di Nusantara tidak pernah melihat hutan hanya sebagai tumpukan kayu atau lahan potensial untuk keuntungan ekonomi.
Bagi mereka, hutan adalah ibu. Di sanalah mereka berburu, bertani, menyembuhkan sakit, hingga menafsir tanda-tanda alam. Hutan bukan sumber daya –ia adalah saudara.
Ketika izin usaha sawit datang tanpa musyawarah, tanpa persetujuan bebas dan diinformasikan (FPIC), itu bukan hanya bentuk ketidakadilan, tapi juga penghinaan terhadap eksistensi manusia.
Mereka kehilangan air bersih, sungai yang dulunya jernih menjadi keruh oleh erosi dan limbah. Anak-anak tidak lagi bisa bermain di antara pepohonan, perempuan harus berjalan jauh mencari air bersih, dan laki-laki kehilangan ladang-ladang untuk berburu dan bertani.
Yang lebih menyakitkan, semua ini terjadi atas nama “pembangunan”. Ironis. Pembangunan bagi siapa? Untuk siapa tanah-tanah itu dibuka, jika pemilik sahnya justru diusir dan hidup dalam tenda plastik, seperti Orang Rimba di Jambi yang sekarang menggantungkan hidup di sela-sela kebun sawit yang tak bisa mereka sentuh?
Kita harus sadar bahwa kehilangan hutan bukan hanya bencana ekologis, tetapi juga tragedi kultural dan spiritual. Ketika tanah dirampas, yang hilang bukan hanya ruang, tapi rasa –rasa memiliki, rasa damai, dan rasa hidup.
Kita, sebagai bangsa, perlu bertanya ulang: sampai kapan kita membiarkan saudara-saudara kita yang paling bijak menjaga alam justru menjadi korban dari kerakusan industri?
Ketika mereka berkata, “Kami punya banyak tanah di sini,” itu bukan sekadar nostalgia. Itu adalah jeritan hati yang dipaksa bungkam oleh mesin-mesin berat dan lembar-lembar kebijakan.
Pembangunan yang sejati tidak menyingkirkan rakyat dari tanahnya, tidak menukar hutan dengan penderitaan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjaga warisan leluhurnya dan menjadikannya fondasi bagi masa depan.
Kita perlu kembali ke hati nurani: bahwa tidak ada kemajuan yang sepadan jika harus dibayar dengan punahnya satu peradaban.
Mari dengar suara Lenny dan komunitasnya. Mari dengar suara tanah yang diam-diam menangis. (FR)