Dalam tujuh bulan pertama masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, arah kebijakan nasional mulai terlihat. Sayangnya, indikasi yang muncul justru menunjukkan kemunduran serius dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia.
Ketika dunia dihadapkan pada darurat iklim global, Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekosistem penting justru memperlemah instrumen perlindungan lingkungan dan mempercepat laju kerusakan ekologis.
Langkah pembubaran Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), misalnya, menjadi sinyal awal dari degradasi kelembagaan dalam urusan lingkungan.
Padahal lembaga ini selama bertahun-tahun telah memainkan peran penting dalam merehabilitasi ekosistem gambut yang rusak.
Ketidakhadiran lembaga pengganti atau strategi transisi memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah dalam melanjutkan program restorasi ekologis yang holistik dan partisipatif.
Alih-alih mengutamakan konservasi, pemerintah justru mengakselerasi proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan proyek ekstraktif seperti pertambangan nikel dan food estate.
Kebijakan-kebijakan ini terbukti menjadi legalisasi dari deforestasi masif, perampasan tanah adat, serta penciptaan konflik sosial. Data menunjukkan lebih dari 500.000 hektare lahan telah dirampas lewat proyek PSN hingga pertengahan 2024, sementara program food estate di Merauke berpotensi membuka hingga 700.000 hektare hutan alam—yang sebagian besar merupakan wilayah adat.
Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya regulasi energi berkelanjutan. Program bioenergi seperti B50 memperbesar ketergantungan terhadap minyak sawit mentah (CPO), tanpa kerangka kelembagaan yang melindungi hutan dan komunitas lokal.
Absennya pendekatan berbasis keadilan ekologis mengarahkan Indonesia pada pembangunan yang tidak berkelanjutan, yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Situasi ini berlangsung dalam konteks demokrasi yang melemah. Konsolidasi kekuasaan, hilangnya oposisi, menyempitnya ruang sipil, serta pelemahan fungsi pengawasan menyebabkan kebijakan publik mudah dibajak oleh kepentingan ekonomi-politik yang sempit.
Dalam konteks seperti ini, kritik dianggap sebagai ancaman, dan perlindungan lingkungan dikorbankan demi investasi.
Refleksi ini tidak bermaksud menolak pembangunan. Justru sebaliknya, ia mengingatkan bahwa pembangunan sejati haruslah berorientasi pada keberlanjutan ekologis, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, dan konsistensi terhadap komitmen iklim global.
Indonesia tak bisa mengklaim diri sebagai bangsa yang berdaulat apabila ekosistem ditukar dengan konsesi, dan demokrasi digadaikan demi kekuasaan yang tak terbatas.
Dalam menghadapi ancaman krisis iklim yang kian nyata, diperlukan keberanian politik dan moral untuk mengakui bahwa arah pembangunan saat ini telah melenceng.
Hanya dengan membangun ulang tata kelola lingkungan yang adil, transparan, dan partisipatif, Indonesia dapat memastikan masa depan yang layak bagi generasi mendatang. (FR)