Satu Juni bukan sekadar hari bersejarah; ia adalah momen reflektif untuk kembali menakar sejauh mana Pancasila hidup dalam denyut nadi bangsa.

Delapan dekade setelah Bung Karno menggali mutiara kebijaksanaan Nusantara dalam pidato monumental pada 1945, Pancasila masih berdiri kokoh sebagai dasar negara –namun, belum sepenuhnya menjelma dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila bukanlah sekadar dokumen historis atau slogan ideologis. Ia adalah pusaka nilai yang lahir dari akar budaya gotong royong, dari semangat kebersamaan, kedermawanan, dan saling asuh yang hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Penelitian global seperti Harvard Human Flourishing Program dan World Giving Index membuktikan bahwa kekuatan sosial Indonesia tetap terpelihara, bahkan dalam keterbatasan ekonomi. Namun, semangat ini justru meredup dalam praktik politik dan tata kelola negara.

Ironi Indonesia terletak di sini: masyarakat yang kaya akan etika kolektif hidup di bawah sistem negara yang kehilangan arah etik.

Gotong royong yang seharusnya menjadi napas dalam kebijakan publik, menjelma menjadi transaksi kekuasaan, korupsi berjemaah, dan kompromi politik tanpa nurani.

Demokrasi yang seharusnya memfasilitasi musyawarah dan partisipasi, berubah menjadi perlombaan elektoral yang dangkal.

Untuk itu, momen 1 Juni harus menjadi titik balik: menghidupkan kembali Pancasila sebagai ideologi kerja.

Artinya, Pancasila perlu diterjemahkan ke dalam tiga ranah utama kehidupan bangsa:
Tata nilai, melalui penguatan karakter dan budaya kewargaan yang inklusif,
Tata kelola, melalui reformasi sistem politik dan lembaga negara yang adil dan partisipatif,
Tata sejahtera, melalui kebijakan ekonomi yang berkeadilan sosial dan berpihak kepada rakyat kecil.

Sebagaimana Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia adalah “negara semua untuk semua,” maka nilai-nilai Pancasila harus menjadi penuntun arah, bukan hanya simbol di mimbar.

Kita perlu kembali ke semangat musyawarah dan gotong royong sebagai syarat kuatnya negara.

Sebagaimana diingatkan pula oleh Mohammad Hatta, Pancasila belum hidup sepenuhnya jika Pasal-pasal Konstitusi yang menjamin kesejahteraan rakyat belum dijalankan.

Maka, memperingati Hari Lahir Pancasila adalah panggilan untuk bertindak, bukan hanya mengenang.

Pancasila yang laju harus kita rawat. Pancasila yang layu harus kita segarkan. Bukan demi nostalgia masa lalu, melainkan demi memastikan arah masa depan bangsa yang adil, damai, dan sejahtera. (FR)