Ketika pemerintah tengah mengerjakan proyek besar penulisan ulang sejarah Indonesia, publik pun terbelah antara harapan dan kecurigaan.
Harapan bahwa sejarah bisa ditulis lebih jujur, lebih lengkap, dan tidak lagi bias kuasa masa lalu. Tapi juga kecurigaan: apakah sejarah ini sedang ditulis untuk mencuci jejak kesalahan? Atau untuk menciptakan narasi tunggal yang melanggengkan dominasi kelompok tertentu?
Dalam sejarah, bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengakui kelam masa lalunya. Kita belajar dari tragedi, bukan untuk memupuk kebencian, melainkan untuk mencegah pengulangan.
Namun, bila penulisan ulang sejarah dilakukan dengan pendekatan menutup ruang perbedaan, melabeli kritik sebagai “sesat sejarah” atau “radikal”, maka kita sedang mengubah sejarah menjadi alat politik, bukan warisan kebenaran.
Refleksi ini penting diangkat karena sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah napas kolektif sebuah bangsa, yang membentuk identitas dan menuntun arah masa depan.
Ketika sejarah dikunci dalam satu narasi tunggal –yang disebut “sejarah resmi”– maka daya kritis generasi mendatang sedang disunat sejak dini. Ini adalah bahaya laten yang mengancam kebebasan berpikir dan demokrasi.
Kritik dari para sejarawan, arkeolog, dan tokoh masyarakat terhadap proyek ini tidak bisa disingkirkan dengan cap “anti-pembangunan sejarah”. Justru mereka sedang menjaga integritas ilmu pengetahuan.
Proses sejarah tidak semestinya ditentukan oleh deadline seremonial 17 Agustus atau tekanan politik identitas, tetapi oleh kesetiaan pada fakta, kejujuran intelektual, dan keberanian menulis apa adanya.
Sebagai bangsa, kita harus jujur bertanya: apakah kita menulis sejarah untuk belajar atau sekadar untuk membangun mitos?
Jangan sampai proyek penulisan ulang sejarah ini menjadi ladang pemakaman bagi ingatan kolektif bangs –dan kita hanya menyaksikan dari balik naskah yang sudah dipoles. (FR)