Raksasa teknologi berlomba-lomba menghadirkan inovasi di sektor kecerdasan buatan (AI) yang berdampak pada beragam sektor kehidupan manusia.

AI memungkinkan otomatisasi di berbagai industri, mulai dari kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga kreatif dan film.

Pada 21 April 2025, Academy of Motion Picture Arts and Sciences yang merupakan lembaga penyelenggara gelaran prestisius ‘Oscars’, mengeluarkan aturan baru terkait syarat film yang bisa masuk nominasi.

Academy menyatakan bahwa penggunaan tool digital dan AI-generatif dalam pembuatan film diizinkan. Namun, Academy menekankan keterlibatan manusia dalam proses pembuatan film sebagai faktor penentu.

“Terkait Generative Artificial Intelligence dan tool digital lain yang digunakan dalam pembuatan film, tool tersebut tidak membantu maupun mengurangi peluang meraih nominasi. Akademi dan setiap cabang akan menilai pencapaian tersebut, dengan mempertimbangkan sejauh mana manusia berperan sebagai inti dari karya kreatif tersebut ketika memilih film yang akan diberikan penghargaan,” tertera pada pengumuman di laman resmi Oscars.

Pengumuman tersebut dibuat ketika banyak pro-kontra dari pelaku industri film yang merasa terancam dengan kehadiran AI. Beberapa saat lalu, sejumlah artis Hollywood yang tergabung dalam Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA) mengeluarkan pernyataan yang mengecam Tilly Norwood, seorang aktris buatan AI.

Tilly Norwood telah menjadi sosok kontroversial di Hollywood setelah penciptanya, Eline Van der Velden, mengklaim bahwa banyak agen tertarik untuk mengontrak karya AI tersebut.

SAG-AFTRA menegaskan bahwa “kreativitas harus tetap berpusat pada manusia” dan karenanya mereka menentang aktor atau aktris manusia digantikan robot AI.

“Untuk lebih jelasnya, ‘Tilly Norwood’ bukanlah seorang aktor, melainkan karakter yang dihasilkan oleh program komputer yang dilatih berdasarkan karya para pemain profesional yang tak terhitung jumlahnya – tanpa izin atau kompensasi,” tulis SAG-AFTRA dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Variety.

Protes terbaru ini menandai aksi demonstrasi bertubi-tubi yang dilayangkan para pelaku kreatif dan industri film sejak popularitas AI mencuat dan mengancam beragam profesi.

Film AI Indonesia Mendunia
Di Indonesia, adopsi AI dalam pembuatan film juga mulai terlihat. Pada Mei lalu, film berjudul ‘Nusantara’ memenangkan penghargaan ‘Best Documentary’ di ajang ‘AI Film Awards Cannes 2025’.

Nusantara merupakan film dokumenter sejarah yang terinspirasi dari kisah sosok legandaris Gadjah Mada. Film yang diproduseri Helmy Yahya tersebut digarap menggunakan AI.

Situs berita Rest of World menuliskan industri film Indonesia tengah bertransformasi karena tool AI seperti Sora dan ChatGPT dari OpenAI, serta Veo milik Google.

Perusahaan dan pembuat film mulai memanfaatkan AI. Tujuannya untuk pekerjaan yang lebih efisien serta menghasilkan film ambisius dan berkualitas dengan anggaran yang lebih kecil.

“Sekarang Indonesia berada di titik kritis, karena kita punya akses ke AI,” kata dosen film dan animasi Universitas Multimedia Nusantara, Bisma Fabio Santabudi, dikutip dari Rest of World.

“Sora 2 bisa membuka potensi lebih luar untuk para pekerja kreatif Indonesia melakukan eksperimen lebih luas tanpa terkendala biaya tinggi,” ia menambahkan.

Namun, ia juga tak menampik ada dampak buruk penggunaan AI yang mengancam pekerja kreatif, termasuk penulis naskah hingga seniman efek visual.

AI Tak Bisa Menggantikan Peran Manusia
Sementara itu, Concept Artist Maximillian R menilai bahwa AI tidak akan bisa menggantikan peran animator, illustrator, dan pembuat film lainnya. Pasalnya, mesin tak bisa menerjemahkan ‘mood’ untuk menelurkan karya yang emosional dan utuh layaknya ciptaan manusia.

Kendati demikian, Maximillian tak menampik bahwa AI bisa mempermudah pekerjaan animator untuk tahap pra-produksi tertentu. Ia sendiri mengaku memanfaatkan AI untuk membantu proses pengembangan awal karya, kira-kira porsinya 20-30%.

Menurutnya, tahap finalisasi karya sangat krusial dan menguji kemampuan seniman dalam mengambil keputusan. Jika tahap akhir diserahkan ke software AI, hasilnya sejauh ini dinilai tidak intuitif. Ada hal-hal yang membutuhkan ‘rasa’ dan sentuhan manusia, agar mood dan cerita bisa benar-benar tersampaikan.

“AI bisa dijadikan tools, tetapi menurut saya tidak bisa menggantikan [peran manusia]. Alasannya, pertama, AI tidak mempunyai kapabilitas untuk mengerti mood dan tidak bisa mengerti intensi. Kedua, orang industri komunikasinya masih kurang banget, briefing manusia saja masih nggak bisa, apalagi brief AI,” kata Maximillian saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (14/10/2025).

Maximillian sempat membeberkan beberapa contoh karya animasi yang sepenuhnya buatan AI. Ia menilai interaksi antar-karakter yang dihasilkan sekan ‘tidak berkomunikasi’. Selain itu, gerakan karakter animasi yang dihasilkan AI seakan-akan tidak memiliki berat. “Tidak ada gravitasinya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Maximillian juga menyorot kurangnya apresiasi industri kepada pekerja seni di Tanah Air. Bahkan, isu ini sudah terjadi sebelum kemunculan AI. Hal ini yang membuat para pemodal dan pengusaha dengan gampang menggantikan peran pekerja seni dengan AI, semata-mata karena lebih praktis, cepat, dan murah.

Ia menceritakan fenomena di agensi kreatif Hollywood, di mana perusahaan memberhentikan ratusan karyawan dan mengganti peran yang kosong dengan AI. Namun, pada akhirnya hal tersebut tidak efektif untuk jangka panjang.

“[Banyak] klien yang tidak puas dengan hasil [kerja] AI,” ia menuturkan.

Film Indonesia Bisa Setara Hollywood?
Terlepas dari kontroversi penggunaan AI untuk pembuatan film, Asosiasi Produser Film Indonesia yang mewakili para kreator lokal mendukung penggunaan AI, ujar Ketua Agung Sentausa kepada Rest of World.

Ia mengatakan adopsi AI akan memangkas biaya produksi dan memungkinkan pembuatan film yang kualitasnya setara dengan Hollywood. Saat ini, anggaran film Indonesia sekitar Rp 10 miliar, kurang dari 1% anggaran film besar Hollywood.

“Industri film kita terbuka terhadap kemudahan yang ditawarkan oleh AI,” kata Sentausa.

Selain kemenangan film ‘Nusantara’ di ajang dunia, Festival Internasional AI Bali pertama juga diselenggarakan tahun ini. Ada 25 film yang dikirimkan dari seluruh dunia, ujar Ben Makinen, seorang sineas dan penyelenggara festival asal Amerika, kepada Rest of World.

AI berkembang begitu pesat sehingga iterasi kedua diselenggarakan hanya beberapa bulan kemudian, dengan 86 film yang dikirimkan.

“Para pembuat film AI ditantang untuk belajar. Mereka masih harus melihat apa yang membuat seorang sutradara dan editor yang baik,” pungkas Makinen.

Sumber : CNBC Indonesia. Foto: Hasil sebuah film dari Nusantara Kisah Epik Gadjah Mada yang dibuat menggunakan teknologi AI dari Neyra Vision Studio. (Tangkapan Layar Youtube/Neyra Vision)