Tanggal 10 November selalu menjadi pengingat bahwa bangsa ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan.
Para pahlawan mempertaruhkan nyawa demi satu cita-cita: kemerdekaan yang berdaulat dan bermartabat.
Mereka bukan hanya melawan penjajahan fisik, tetapi juga menegakkan nilai luhur –kejujuran, tanggung jawab, dan cinta tanah air. Namun, setelah hampir delapan dekade merdeka, semangat kepahlawanan itu tampak memudar di jantung birokrasi modern Indonesia.
Di sana, korupsi tumbuh subur, seolah menggantikan idealisme perjuangan dengan mentalitas memperkaya diri.
Korupsi adalah bentuk pengkhianatan paling nyata terhadap semangat kepahlawanan. Jika dahulu pahlawan berjuang untuk rakyat, kini sebagian birokrat justru mengkhianati rakyat dengan mencuri hak mereka.
Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan malah mengalir ke rekening pribadi.
Perilaku koruptif tidak hanya menimbulkan kerugian material, tetapi juga merusak fondasi moral bangsa. Ia menular, menciptakan budaya permisif terhadap ketidakjujuran, dan menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Hilangnya semangat kepahlawanan dalam birokrasi modern sesungguhnya berakar pada perubahan orientasi nilai.
Bagi para pejuang kemerdekaan, kehormatan dan tanggung jawab terhadap bangsa adalah segalanya. Mereka tidak menuntut imbalan, karena perjuangan itu sendiri merupakan panggilan moral.
Sebaliknya, bagi sebagian pejabat hari ini, jabatan bukan lagi sarana pengabdian, melainkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kepahlawanan kini tidak lagi dipahami sebagai pengorbanan demi kepentingan umum, melainkan sekadar simbol kosong yang hanya digaungkan setiap tanggal 10 November.
Padahal, esensi kepahlawanan seharusnya hidup dalam setiap aparatur negara. Birokrasi dibangun untuk melayani rakyat, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, seorang pegawai negeri yang jujur, disiplin, dan menolak suap sebenarnya adalah pahlawan masa kini. Ia berjuang di medan yang berbeda –bukan di medan perang bersenjata, melainkan di medan integritas dan moralitas.
Melawan godaan korupsi di tengah sistem yang kerap permisif adalah bentuk perjuangan modern yang tak kalah berat dibanding pertempuran fisik.
Untuk menumbuhkan kembali semangat kepahlawanan dalam birokrasi, perlu ada revolusi mental yang berkelanjutan.
Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian integral dari pembentukan karakter ASN dan pejabat publik. Pengawasan internal perlu diperkuat, bukan hanya secara administratif, tetapi juga melalui pembudayaan etika.
Selain itu, teladan dari pimpinan lembaga menjadi kunci. Keteladanan moral lebih efektif dari sekadar ancaman hukuman. Pemimpin yang berani hidup sederhana, menolak gratifikasi, dan bekerja dengan hati akan memunculkan gelombang perubahan dari bawah.
Hari Pahlawan seharusnya tidak berhenti pada upacara dan pidato seremonial. Ia harus menjadi momentum untuk bertanya kepada diri sendiri: masihkah kita mewarisi semangat para pahlawan, atau justru menjadi generasi yang mengikis nilai-nilai perjuangan?
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi bentuk dehumanisasi moral yang menghapus makna kepahlawanan. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak “pahlawan kejujuran” daripada “penguasa rakus”.
Pada akhirnya, kepahlawanan bukan tentang nama yang diabadikan di monumen, melainkan tentang sikap hidup yang setia pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Ketika setiap birokrat menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, di sanalah semangat para pahlawan kembali hidup –tidak dalam pertempuran bersenjata, tetapi dalam perang melawan korupsi dan kebobrokan moral yang mengancam masa depan bangsa. (FR)
Sumber Foto: Liputan 6. Ilustrasi Hari Pahlawan 10 November. (Photo Copyright by Freepik)
