Di tengah hiruk pikuk reformasi pendidikan yang tak kunjung selesai, Indonesia kini menghadapi sebuah fenomena yang jarang disorot tetapi amat menentukan: munculnya feodalisme baru dalam dunia pendidikan tinggi, terutama di bidang hukum dan aparatur penegak hukum.

Gelar akademik –yang seharusnya menjadi bukti integritas ilmiah dan kontribusi terhadap pengetahuan– telah berubah menjadi simbol status, mirip gelar kebangsawanan masa lalu seperti Raden, Gusti, atau Pangeran.

Jika feodalisme lama bertumpu pada garis keturunan, feodalisme modern bertumpu pada gelar yang diraih melalui kampus, bukan melalui ranah ilmu.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia terkait langsung dengan salah arah pendidikan hukum, terutama bagi polisi, jaksa, hakim, dan aparat penegak hukum lainnya. Para pejabat hukum ini berbondong-bondong mengambil pendidikan doktoral (S3), meski jalur tersebut sesungguhnya tidak ditujukan bagi profesi mereka.

Akibatnya, pendidikan tinggi hukum menjadi arena status, bukan arena ilmu. Inilah salah satu distorsi paling serius dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia yang perlu dibahas secara jernih dan kritis.

Doktor: Gelar Akademik atau Gelar Kebangsawanan?
Doktor adalah jenjang akademik tertinggi, tetapi bukan jenjang pekerjaan tertinggi. Dalam tradisi universitas modern, gelar doktor diberikan kepada individu yang membuat sumbangan baru terhadap ilmu pengetahuan.

Seorang doktor tidak sekadar mempelajari teori, melainkan menghasilkan teori, mengkritik konsep, menemukan metode, atau memperluas horizon pemikiran.

Namun dalam konteks Indonesia, makna ini mengalami penyimpangan. Pada sebagian besar birokrat negara, termasuk aparat penegak hukum, doktor dipahami sebagai: penanda gengsi, peningkatan kelas sosial,akses terhadap jabatan, atau bahkan sebagai lencana intelektual yang tidak selalu berhubungan dengan kapasitas akademik. Dengan kata lain, gelar doktor telah menjadi gelar feodal baru.

Sebagaimana dulu orang merasa lebih terhormat ketika disebut Raden, kini sebagian pejabat merasa lebih berwibawa ketika menambahkan “Dr.” di depan nama. Maka lahirlah paradoks: gelar akademik naik kelas menjadi simbol kebangsawanan modern, tetapi kualitas intelektual tidak selalu ikut naik.

Kampus Menjadi Pabrik Gelar, Bukan Pusat Ilmu
Fenomena aparat penegak hukum yang mengambil S3 secara massal menimbulkan tekanan besar pada ekosistem akademik. Untuk memenuhi permintaan, banyak kampus membuka kelas khusus bagi birokrat.

Dalam situasi ini, universitas –terutama yang swasta atau yang sedang mengejar akreditasi– sering tergoda mengakomodasi jumlah mahasiswa besar, alih-alih menjaga kualitas akademik.

Akibatnya: Disertasi tidak lagi menjadi kontribusi ilmiah, melainkan formalitas administratif untuk mendapatkan gelar. Kualitas penelitian merosot, sering hanya berupa kajian deskriptif tanpa kebaruan. Plagiarisme meningkat, baik dalam bentuk kasar maupun halus. Dosen peneliti tersingkir, digantikan “dosen populer” yang pandai mengelola kelas birokrat. Universitas kehilangan orientasi epistemologis –yakni tujuan keilmuan yang seharusnya diperjuangkan.

Dengan kata lain, ketika gelar dijadikan simbol kebangsawanan, kampus berubah menjadi istana gelar, bukan laboratorium ilmu. Kampus terjebak dalam tuntutan administratif dan kebutuhan “pabrik gelar”, melemahkan budaya ilmiah.

Salah Jalur Pendidikan bagi Penegak Hukum
Pertanyaan kuncinya: Apakah aparat penegak hukum memerlukan S3 untuk menjalankan tugasnya? Jawabannya: tidak.

Pendidikan S3 adalah jalur akademik (science track), bukan jalur profesi. Pekerjaan penegak hukum bukan pekerjaan akademik. Mereka tidak dituntut menghasilkan teori baru tentang hukum, tetapi: memahami prosedur hukum, menilai alat bukti, memastikan keadilan substantif, mengolah pertimbangan yuridis, menegakkan integritas. Semua itu berhenti pada level S1 plus diklat profesi, atau S2 terapan jika memang diperlukan.

Maka ketika aparat penegak hukum mengambil S3 dengan tujuan peningkatan karier struktural atau gengsi profesional, mereka sesungguhnya salah jalur. Mereka tidak menjadi ilmuwan, tetapi juga tidak lebih ahli dalam praktik hukum.

Hasilnya adalah “kelas pejabat doktoral” yang tidak mendalam kapasitas keilmuannya, tetapi juga tidak bertambah efektif dalam menjalankan mandat penegakan hukum.

Kerugian bagi Negara: Intelektualisasi Semu dalam Penegakan Hukum
Fenomena ini menimbulkan kerugian langsung bagi sistem hukum Indonesia.
Pertama: Tidak ada peningkatan profesionalisme. Meski gelar akademik meningkat, kualitas penyidikan, penuntutan, dan pengadilan tidak serta merta membaik.
Kedua: Publik makin tidak percaya pada gelar akademik. Ketika doktor tidak mampu menunjukkan keunggulan intelektual atau integritas, masyarakat melihat gelar tersebut sebagai kosmetik.
Ketiga: Menguras sumber daya negara. ASN menghabiskan waktu dan anggaran untuk pendidikan yang tidak relevan dengan pekerjaannya, sementara kantor menghadapi kekurangan tenaga profesional.
Keempat: Merusak pondasi akademik di universitas.

Akar Masalah: Kaburnya Batas antara Jalur Akademik dan Jalur Profesi
Negara-negara maju memiliki pemisahan tegas: Jalur Profesi → untuk hakim, jaksa, polisi, advokat. Jalur Akademik → untuk peneliti, ilmuwan, dosen. Indonesia mencampur keduanya.

Seorang penyidik merasa perlu S3. Seorang hakim merasa “kurang lengkap” tanpa gelar doktor. Seorang jaksa merasa lebih berwibawa di persidangan jika bergelar akademik tertinggi. Kaburnya batas ini melahirkan kaburnya orientasi. Pendidikan tidak lagi didasarkan pada fungsi, tetapi pada status.

Mengembalikan Pendidikan ke Jalan Lurus
Jika gelar akademik telah berubah menjadi gelar feodal baru, maka tugas kita adalah memurnikannya kembali menjadi alat pengetahuan, bukan simbol kuasa.

Langkah-langkah yang harus didorong antara lain: Pisahkan jalur profesi dan jalur akademik secara tegas. S3 hanya untuk mereka yang ingin jadi akademisi atau peneliti hukum.
Reformasi syarat jabatan struktural. Hentikan menjadikan S3 sebagai tiket jabatan di birokrasi hukum.

Perkuat Diklat dan Pendidikan Profesi
Yang dibutuhkan penegak hukum adalah kompetensi praktik, integritas, dan etika.
Beri insentif pada penelitian murni, bukan pada jumlah lulusan S3.
Ciptakan budaya akademik yang menghargai kualitas, bukan gelar.

Penutup: Menghadapi Feodalisme Pendidikan
Feodalisme dalam pendidikan berbeda dengan feodalisme lama, tetapi esensinya sama: hierarki berbasis simbol status. Jika dulu gelar kebangsawanan diwariskan, kini gelar akademik dibeli melalui proses pendidikan yang salah arah.

Mengkritik fenomena ini bukan berarti merendahkan orang yang menempuh pendidikan doktoral –tetapi menuntut agar gelar akademik kembali kepada makna sejatinya, yaitu pengabdian terhadap ilmu pengetahuan.

Kita perlu mengembalikan pendidikan hukum kepada orientasi epistemologis, bukan orientasi feodal. Jika tidak, Indonesia akan terus melahirkan generasi aparat penegak hukum yang gelarnya makin tinggi, tetapi kualitas keilmuannya dangkal, dan keadilannya tidak kunjung tegak.

Itulah ironi terbesar feodalisme modern:
gelar naik, kualitas stagnan; wibawa bertambah, ilmu berkurang; gelar akademik melimpah, keadilan tetap susah dicari. (FR)