بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Di antara tanda mengandalkan amal perbuatan adalah berkurangnya pengharapan terhadap ampunan Allah ketika melakukan kesalahan dosa.”
(min ‘alāmāti al-i‘timād ‘ala al-‘amal nuqṣānu al-rajā’ ‘inda wuqū‘i al-zallat).
1. Makna Dasar Hikmah
Ibnu ‘Aṭā’illah membuka al-Hikam dengan peringatan paling penting dalam perjalanan spiritual, yakni jangan bergantung pada amal, tetapi bergantunglah kepada Allah, Dzat yang memberi taufik untuk beramal.
Amal ibadah adalah wasīlah (jalan, sarana) bukan musabbib (yang menjadi sesuatu penyebab bekerja). Amal adalah pintu, tetapi yang memberi kemampuan untuk melewati pintu itu adalah Allah sendiri.
Ketika seseorang mengandalkan amalnya (i‘timād ‘alā al-‘amal), maka ia menjadikan amal sebagai sumber optimisme, kepercayaan diri, dan alat ukur keselamatan. Akibatnya, ketika ia jatuh dalam dosa, harapan kepada Allah langsung merosot, seolah ampunan Allah bergantung pada rapinya amal manusia.
Padahal, hakikatnya:
“Engkau tidak masuk surga karena amalmu, tetapi karena rahmat-Nya.” (HR. al-Bukhari & Muslim)
2. Mengandalkan Amal vs Mengamalkan Amal
Hikmah ini bukan mengajak meninggalkan amal. Ibnu ‘Aṭā’illah sangat menekankan amal sebagai kesungguhan bersyukur. Namun yang dilarang adalah mengandalkan amal.
Perbedaannya subtil tetapi fundamental:
Mengandalkan Amal Mengamalkan Amal
Merasa amal sebagai sumber keselamatan Menjadikan amal sebagai ibadah dan Syukur
Yakin “aku selamat karena amalku” Yakin “amal ini hanya terwujud karena Allah”
Merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain Merendah karena merasa ditolong Allah
Putus asa ketika jatuh dalam dosa Kembali kepada Allah dengan harapan penuh
Ibnu ‘Aṭā’illah mengajarkan: “Kerjakan amal dengan tekun, tetapi sandarkan hati hanya kepada Allah.”
3. Mengapa Putus Asa Adalah Tanda Mengandalkan Amal?
Orang yang hatinya bergantung pada amal akan berkata dalam batinnya: “Saya sudah shalat, puasa, dan berbuat baik. Seharusnya saya tidak layak jatuh dalam dosa.” Ketika ia jatuh juga, ia merasa dirinya rusak secara total dan putus harapan. Ia merasa hancur bukan karena dosa itu sendiri, tetapi karena hancurnya citra diri yang ia bangun dari amal-amalnya. Inilah yang disebut para ulama: al-‘ujb (bangga diri).
Yang goyah bukan hubungan dengan Allah, tetapi rasa percaya diri palsu bahwa amal-lah bentengnya.
Ibnu ‘Aṭā’illah menyindir halus:
“Jika ketika berbuat dosa engkau putus harapan, berarti engkau bukan bergantung kepada Allah, tetapi bergantung kepada amalmu.”
Karena orang yang menggantungkan harap kepada Allah, jika jatuh dalam dosa justru semakin kuat kembali kepada-Nya:
Ia sedih, tetapi tidak putus asa.
Ia menyesal, tetapi tidak patah semangat.
Ia kembali, tetapi tidak merasa Allah sulit menerima.
4. Dosa sebagai Ujian Tawakkal
Para sufi menjelaskan:
Kadang Allah menampakkan kekuranganmu agar engkau kembali dari “ketergantungan kepada amal” menuju ketergantungan kepada-Nya semata.
Sebagian ulama berkata: “Betapa banyak orang yang masuk surga bukan karena ketaatannya, tetapi karena dosa yang membawanya kepada tobat dan kerendahan hati.”
Dosa tertentu bisa jadi obat untuk penyakit tak terlihat dalam hati: sombong, ujub, merasa suci. Sementara ketaatan tertentu terkadang menjadi racun jika melahirkan kesombongan.
Bukan berarti dosa itu baik. Tetapi melihat diri rendah lebih disukai Allah daripada melihat diri tinggi walaupun taat.
5. Harapan yang Tidak Berkurang
Hamba sejati memiliki ciri:
Ketika ia berbuat baik, ia bersyukur.
Ketika ia berbuat dosa, ia berharap.
Ia tidak pernah merasa aman dari makar Allah, tetapi juga tidak pernah putus asa dari rahmat-Nya.
Inilah keseimbangan seorang arif:
khauf (takut) menjaga dari kesombongan
rajā’ (harapan) menjaga dari keputusasaan
Ibnu ‘Aṭā’illah sedang mengajarkan adab hati seorang salik:
“Letakkan amalmu di tanganmu, tetapi letakkan harapanmu pada Rabbmu.”
6. Penutup: Pesan Inti Syarah
Hikmah pertama ini adalah fondasi seluruh al-Hikam:
Allah-lah Yang Maha Melakukan (al-Fa‘āl), bukan engkau.
Karena itu:
Beramallah dengan penuh ketundukan.
Istiqāmah-lah tanpa merasa berjasa.
Jika jatuh, bangkitlah tanpa putus asa.
Jangan bersandar paa amal, tetapi pada Allah yang memberi kemampuan beramal.
Akhirnya, keselamatan seorang hamba adalah pada rahmat-Nya, bukan pada banyaknya amalnya:
“Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” QS. al-A‘raf: 156. (FR)
