Ada pemandangan yang berulang setiap kali bencana datang: pejabat hadir dengan rompi lapangan, sepatu bot, wajah prihatin, dan kamera yang siap merekam.

Kali ini, seorang pejabat memanggul sekarung beras (bekas karung gandum)—di hadapan rakyat yang baru saja kehilangan rumah, sawah, dan rasa aman.

Gambar itu segera beredar di media sosial dan YouTube. Ia tampak heroik, seolah-olah hadir sebagai penolong. Padahal, di balik gambar itu, ada sejarah panjang kebijakan, ada jejak struktural yang tak pernah benar-benar disinggung.

Inilah yang disebut pencitraan. Dan lebih tepatnya: pencitraan palsu.

Pencitraan palsu bekerja dengan logika yang sederhana tetapi licik. Ia memisahkan sebab dari akibat. Ia menampilkan pejabat sebagai “solusi”, sambil mengaburkan fakta bahwa banyak kebijakan pembangunan—terutama di sektor kehutanan dan sumber daya alam—telah ikut menyumbang pada lahirnya bencana itu sendiri.

Hutan di Sumatera menyusut bukan dalam semalam. Ia habis oleh izin, oleh konsesi, oleh pembiaran, oleh cara pandang yang menempatkan alam semata sebagai komoditas.

Ketika hujan ekstrem datang dan banjir melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, barulah “kebenaran ekologis” itu muncul ke permukaan. Air hanya mengikuti hukum alamnya sendiri. Yang mengkhianati hukum itu adalah manusia—melalui kebijakan dan keserakahan yang dibungkus bahasa pembangunan.

Maka, ketika pejabat datang membawa bantuan, pertanyaannya bukan sekadar apa yang ia bawa, tetapi apa yang pernah ia putuskan. Bukan seberapa berat karung beras itu, melainkan seberapa berat dampak kebijakan yang diwariskan.

Pencitraan palsu sengaja mengalihkan fokus publik dari pertanyaan-pertanyaan ini. Kamera diarahkan ke aksi simbolik, bukan ke akar masalah.

Ada asumsi lama yang masih dipelihara: bahwa rakyat mudah lupa dan mudah dibodohi. Bahwa satu gambar emosional cukup untuk menutup puluhan tahun kerusakan. Bahwa air mata di depan kamera bisa menghapus arsip kebijakan. Asumsi ini keliru. Rakyat hari ini tidak sebodoh yang dibayangkan oleh para perancang pencitraan.

Rakyat melihat, mencatat, dan menghubungkan peristiwa. Mereka tahu bahwa hutan yang gundul hari ini adalah hasil keputusan kemarin. Mereka tahu bahwa bantuan darurat tidak sama dengan keadilan ekologis. Mereka tahu bahwa empati sesaat tidak bisa menggantikan tanggung jawab jangka panjang. Media sosial justru membuat ingatan kolektif semakin kuat, bukan semakin lemah.

Pencitraan palsu juga bermasalah secara moral. Ia menjadikan penderitaan rakyat sebagai panggung. Bencana bukan lagi tragedi kemanusiaan, melainkan latar belakang foto. Korban banjir direduksi menjadi figuran dalam narasi “pemimpin yang peduli”. Ini bukan sekadar soal etika komunikasi, tetapi soal martabat manusia.

Yang lebih berbahaya, pencitraan palsu menunda perubahan. Selama pejabat merasa cukup dengan tampil prihatin, tidak ada dorongan serius untuk mengevaluasi kebijakan kehutanan, tata ruang, dan perlindungan lingkungan. Selama publik diarahkan untuk berterima kasih atas bantuan, pertanyaan tentang pencegahan dianggap tidak sopan atau terlalu kritis.

Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukanlah drama visual, melainkan keberanian politik. Keberanian untuk mengakui kesalahan kebijakan masa lalu. Keberanian untuk menghentikan eksploitasi hutan. Keberanian untuk menempatkan keselamatan ekologis di atas kepentingan ekonomi jangka pendek. Keberanian untuk bekerja dalam sunyi, tanpa kamera, tetapi dengan dampak nyata.

Pencitraan boleh saja—setiap pejabat pasti tampil di ruang publik. Namun pencitraan yang jujur adalah yang sejalan dengan rekam jejak, bukan yang menutupinya. Yang lahir dari kebijakan yang benar, bukan yang menggantikannya. Rakyat Indonesia sudah cukup dewasa untuk membedakan mana empati yang tulus dan mana kepedulian yang direkayasa.

Di tengah banjir dan lumpur, yang dibutuhkan bukan karung beras di pundak pejabat, tetapi perubahan arah kebijakan. Bukan foto, melainkan tanggung jawab. Dan rakyat, cepat atau lambat, akan selalu menagihnya. (FR)