Pantomim Jemek Supardi (1953-2022) dalam perhelatan Festival Seni Surabaya bertema 100 Tahun Kebangkitan Nasional Tribute to Surabaya, 9 Juni 2008, pernah mengusung pertunjukan bertajuk Menunggu (kabar) Kematian.
Lakon ini, bagi Jemek, sangat simbolis sebab, “Bagi saya kematian itu tidak usah ditunggu, karena ajal pasti akan menjemput. Jadi, melalui karya ini saya ingin mengajak orang untuk merenungkan makna kematian. Dengan jalan itu, orang akan bisa memberi makna atas kehidupannya sekarang,” ujarnya.
Pantomim, yang merupakan laku hidup Jemek Supardi, saat ini bisa menjadi simbol dari kecanggihan teknologi Artificial Intelligence. AI ibarat pemain pantomim yang sangat jenius lantaran mampu meniru pola pikir, perilaku dan dunia hidup (lebenswelt) manusia dengan sangat canggih. Sebagai model bahasa besar (large language model) AI sanggup memantulkan kembali data yang diumpankan oleh manusia.
Peniru yang Ulung
Dewasa ini riset AI sedang menuju pada satu cara untuk menangani banyak masalah yang dulu membutuhkan solusi yang sangat spesifik. Para penggagas AI melatih model machine learning berskala besar, dengan data dalam jumlah sangat banyak, untuk melakukan berbagai tugas yang sejatinya tidak untuk mereka.
Satu hal yang seringkali luput dari teknokrat AI, ia tetaplah peniru yang ulung. Mimikri (tiruan) buatan yang hadir dalam berbagai bentuk seperti teks, gambar atau bahkan video. Sama halnya dengan artis pantomim yang mampu memerankan peran apa pun dengan meyakinkan berdasarkan naskah (data) yang diberikan, tapi ia tetaplah mimikri ilusi sesuai imajinasi penonton. Para pengguna AI secara tidak sadar terjebak dengan tiruan ini sehingga kerap jatuh pada pemahaman yang salah, seolah produk AI adalah benar nyata.
Tidak Sekadar Teknis Coding dan AI
Gegap gempita era AI yang dirayakan dengan meriah, tak ayal mendorong para pembuat kebijakan untuk buru-buru menerapkan program tanpa paham risiko dan dampaknya. Contoh konkretnya adalah kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang mencanangkan AI dan Coding sebagai mata pelajaran pilihan pada tahun ajaran 2025-2026. Menurut Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti, pemberian pembelajaran coding dan kecerdasan buatan ini sebagai bagian dari upaya mempersiapkan generasi muda yang kompetitif dan mampu bersaing di kancah global.
Gagasan besar ini sepintas sangat adaptif dan solutif sebagai bentuk respon pemerintah atas euforia AI. Namun hingga satu semester tahun ajaran 2025-2026 bergulir, tak satupun evaluasi dan tilikan analitis keluar dari pembuat kebijakan.
Wamen Diktisaintek Prof. Stella Christie, sebagai salah satu panelis dalam International Symposium on Early Childhood Education and Development (ECED), dengan tema “ECED Ecosystem Synergy in Promoting the Best Start in Life”, yang diusung Tanoto Foundation pada 17 Desember 2025 di Jakarta, mengisyaratkan kebijakan pembelajaran mata pelajaran AI dan Coding belum mendesak diberlakukan.
Alih-alih mengajarkan kemampuan teknis coding dan AI kepada anak-anak, Stella Christie menyarankan untuk menanamkan cara berpikir, memahami pola, serta struktur pemecahan masalah sejak usia dini. Menurutnya, anak yang terbiasa berpikir kritis akan mampu menghadapi berbagai persoalan baru di masa depan, meski bentuknya berbeda. Lingkungan belajar yang tepat diyakini mampu menjaga rasa ingin tahu anak agar terus tumbuh dan berkembang.
“Pembelajaran di era kecerdasan artifisial tidak semata-mata berfokus pada penguasaan teknis, seperti membuat coding. Yang lebih penting adalah memahami cara berpikir di balik coding itu sendiri, termasuk mengenali struktur dan pola dalam memecahkan masalah. Orang yang bisa melihat struktur itu akan mampu memecahkan masalah-masalah yang kelihatannya baru, tetapi sebenarnya di dalamnya sama. Itu penting sekali,” tegas Stella.
AI Berpotensi Melemahkan Nalar Manusia
Merujuk riset Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat (MIT) bertajuk “Your Brain on ChatGPT: Accumulation of Cognitive Debt when Using an AI Assistant for Essay Writing Task” yang dirilis pada Juni 2025 lalu, para pengguna AI berpotensi mengalami penurunan kinerja otak lantaran kreativitas dan critical thinking tidak lagi terasah dengan baik. Dengan kalimat lain, mereka yang gandrung dan kecanduan AI hakikat dirinya sebagai manusia
pelan-pelan akan menuju kematian.
Kendati masih terlalu dini, sinyalemen di atas terlihat dari hasil Tes Kompetensi Akademik (TKA) 2025 tingkat SMA, SMK, MA, dan Paket C yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah 23 Desember 2025. Secara umum hasil TKA SMA 2025 dinilai kurang memuaskan. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa capaian TKA SMA tahun ini “jeblok”, memicu perhatian pemerintah terhadap kualitas pembelajaran di sekolah.
Pengakuan jujur ini menyiratkan bahwa peserta didik tidak terbiasa untuk menjawab soal-soal yang membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill). Kemajuan perkembangan AI yang memudahkan peserta didik untuk menempuh jalan pintas menjawab soal dan mengerjakan tugas, tak ayal membuat mereka tidak terlatih menggunakan nalar secara kritis dan kreatif. Alih-alih menggunakan nalar untuk menganalisis secara sistematis dalam menjawab soal dan mengerjakan tugas sekolah, saat ini peserta didik cenderung meniru (copy paste) jawaban dari AI.
Sebagaimana pertunjukan pantomim yang acap kali menghibur lantaran menyuguhkan ilusi ketimbang dunia nyata, AI sangat piawai meniru kehidupan manusia tapi tidak untuk ditiru. Mari kita jaga api nalar manusia jangan sampai padam karena terpukau bayang-bayang mimikri digital AI. ( Triatmoko Kusdiarto)
Sumber : NNC. Foto : Artificial Intelligence Ilutration (Gemini.Ai)
