بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Di tengah dunia yang begitu materialistis, istilah “berbisnis dengan Allah” mungkin terdengar seperti gimmick semata –dipakai oleh para motivator untuk menarik peserta seminar. Namun dalam khazanah sufi, ungkapan ini mengandung makna spiritual yang dalam, bukan sekadar jargon marketing.

Kisah Kubur yang Terbuka
Kisah dari Uyun al-Hikayat karya Ibnul Jauzi bukanlah cerita biasa. Seorang kakek yang wafat, tiba-tiba bangkit dari kubur dan menceritakan bagaimana Allah mengampuninya bukan karena amal besar, tetapi karena tiga hal yang sangat manusiawi namun sangat bermakna di hadapan Allah:
Cinta kepada kekasih Allah.
Menjaga diri dari satu hal yang haram.
Tanda fisik kelemahan (uban) yang menandai ketulusan penghambaan.

Apa Makna “Berbisnis dengan Allah”?
Istilah “berbisnis dengan Allah” tidak berarti kita berdagang untuk mencari keuntungan materi dari Tuhan. Ini bukan transaksi untung-rugi seperti di pasar. Yang dimaksud adalah menanam amal dengan harapan ridha-Nya.
Bisnis dengan Allah adalah bisnis hati.
Niat baik = modalnya,
keikhlasan = strategi pemasarannya,
dan ridha Allah = keuntungannya.

Tiga Hal Sederhana, Tapi Dahsyat
Tiga sebab Allah mengampuni sang kakek adalah pelajaran penting:
Cinta kepada wali Allah: Cinta yang sejati kepada orang-orang saleh akan menyeret kita kepada amal saleh pula. Cinta ini bukan ikut-ikutan, tapi mengikuti jejak mereka menuju Allah.
Menjaga satu keharaman saja: Kadang kita merasa amal kita kurang. Tapi meninggalkan satu dosa, dengan tulus, bisa menjadi penyebab ampunan yang besar. Allah Maha Pemurah.
Rambut yang memutih: Dalam Islam, tanda-tanda usia tua yang menunjukkan perjalanan panjang dalam penghambaan, justru dihargai Allah. Uban bukan hanya soal fisik, tapi juga simbol kesetiaan dalam waktu.

Refleksi Diri: Bagaimana Bisnis Kita dengan Allah?
Kita bisa bertanya pada diri:
Apakah pekerjaan dan usaha kita diniatkan untuk mendekat kepada-Nya?
Apakah kita pernah meninggalkan keuntungan dunia karena takut melanggar hukum-Nya? Apakah kita mencintai orang-orang yang membawa cahaya kebenaran ke dunia?
Jika iya, mungkin kita sedang berbisnis dengan Allah, meski tak sadar.

Penutup: Bukan Gimmick, Tapi Jalan Hidup
Berbisnis dengan Allah bukan retorika. Ia adalah cara hidup, cara memaknai pekerjaan kita, rezeki kita, dan pengorbanan kita –bahwa semua ini bukan semata demi dunia, tapi karena kita ingin menyenangkan Zat yang menciptakan kita.

“Berbisnislah dengan Allah,” kata sahabat Ghasuli, “niscaya Dia akan menyingkapkan padamu keajaiban-keajaiban.”

Kita tak mencari mukjizat. Kita mencari makna, dan makna itu bisa kita temukan bila hati ini senantiasa terhubung kepada Allah, bahkan dalam aktivitas duniawi sekalipun. (FR)