بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Di era modern ini, manusia seolah sedang berdiri di persimpangan jalan sejarah. Di satu sisi, dunia menawarkan kecanggihan teknologi, kecepatan informasi, dan kemudahan hidup yang belum pernah ada sebelumnya. Tapi di sisi lain, manusia justru mengalami krisis yang lebih dalam dan sunyi: krisis makna hidup.

Kita melihat peradaban dengan gedung pencakar langit yang menjulang, tapi jiwa manusia roboh dalam kesepian dan kekosongan. Kita melihat perkembangan ekonomi dan kekayaan materi yang terus meningkat, tapi hati manusia justru terbenam dalam krisis spiritual yang mencekam.

Krisis ini bukan sekadar tentang kekurangan pangan, rumah, atau akses pendidikan. Ini adalah krisis eksistensial –tentang siapa kita, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan menuju.

Modernitas telah mengajarkan kita untuk berpikir cepat, efisien, dan produktif. Tapi di tengah semua itu, logika materialisme menggeser kesadaran spiritual. Manusia diukur dari apa yang dimiliki, bukan siapa dirinya. Nilai ditentukan oleh jumlah, bukan oleh makna. Maka tak heran, manusia perlahan berubah menjadi seperti mesin: bekerja, berproduksi, lalu kelelahan, tanpa pernah benar-benar tahu mengapa ia melakukan semua itu.

Kita menjadi asing dengan diri sendiri.
Kita lebih sibuk merawat citra ketimbang merawat jiwa.
Kita berlari mengejar dunia, namun lupa menengok luka di hati yang tak kunjung sembuh.

Inilah dehumanisasi: saat manusia kehilangan sisi kemanusiaannya.
Inilah desakralisasi: saat hidup tak lagi dirasa suci, tapi sekadar rutinitas yang kosong.

Namun dalam kegelapan ini, ada cahaya yang bisa dinyalakan: kesadaran akan pentingnya makna.
Kita perlu berhenti sejenak, bukan untuk mundur, tapi untuk menyapa jiwa kita sendiri.
Untuk bertanya: Apakah aku hidup untuk sesuatu yang lebih dari sekadar mengejar dunia?
Apakah ada makna di balik segala penderitaan, kesibukan, dan pencapaian ini?

Kita butuh ruang sunyi, bukan untuk melarikan diri, tapi untuk mendengar kembali suara batin –suara yang selama ini tertutup oleh bisingnya zaman. Kita butuh spiritualitas yang membumi, yang mampu mengangkat kembali kemanusiaan kita di tengah sistem yang cenderung menjadikan manusia hanya sebagai angka, fungsi, atau konsumen.

Makna hidup bukan sesuatu yang kita temukan di luar, melainkan sesuatu yang kita bangun dari dalam.
Dan saat kita mulai menghidupkan makna, hidup pun tak lagi terasa berat, sebab kita tahu arah dan tujuannya.

Kini, saatnya kita merebut kembali kemanusiaan kita dari cengkeraman mesin-mesin modernitas. Bukan untuk memusuhi zaman, tetapi untuk menjadikan zaman ini lebih berjiwa. Kita butuh membangun dunia yang bukan hanya cerdas secara teknologi, tapi juga terang secara ruhani. Dunia yang bukan hanya sejahtera secara ekonomi, tapi juga bermakna bagi jiwa manusia.

Karena pada akhirnya, hidup bukan soal seberapa cepat kita berlari, tapi ke mana arah kita melangkah .(FR)