Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai salah satu kampus tertua dan paling prestisius di Indonesia, selama ini kerap dianggap sebagai mercusuar moral dan intelektual bangsa. Namun, kepercayaan itu kini sedang runtuh.
Melalui sebuah surat terbuka bertanggal 23 Mei 2025, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM menyatakan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan kampusnya. Ini bukan sekadar pernyataan protes, tetapi peringatan keras atas hilangnya fungsi dasar kampus sebagai ruang kebebasan akademik dan penjaga nurani sosial-politik.
Akar dari mosi ini adalah kekecewaan mahasiswa terhadap sikap diam –atau lebih tepatnya, kelembekan– UGM dalam menyikapi kondisi sosial politik yang memburuk, khususnya sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga berlanjut ke era Prabowo Subianto.
Rektor dan sebagian petinggi kampus dianggap terlalu mesra dengan kekuasaan, sehingga kehilangan keberanian untuk bersuara kritis ketika rakyat menderita akibat kebijakan yang tidak adil.
Sikap kampus yang hanya menggelar diskusi publik tanpa mengambil sikap tegas dianggap tak cukup oleh mahasiswa. Diskusi tanpa posisi adalah ilusi netralitas yang menyesatkan.
Dalam situasi di mana kebebasan sipil dibatasi, kekerasan negara meningkat, dan demokrasi melemah, keheningan adalah bentuk keberpihakan. Ketika kampus memilih diam, ia sejatinya sedang berpihak pada kekuasaan, bukan rakyat.
Fenomena serupa terjadi di berbagai kampus lain, seperti Universitas Negeri Semarang (UNNES), yang juga dikritik karena terlalu memanjakan pejabat dengan gelar kehormatan dan akses istimewa.
Pola ini mengindikasikan adanya relasi transaksional antara elit politik dan petinggi perguruan tinggi, yang mengorbankan independensi akademik.
Dosen-dosen dan intelektual yang masih menjunjung idealisme akademik pun mulai angkat suara. Mereka menilai bahwa kedekatan kampus dengan penguasa berpotensi merusak fungsi utama universitas: sebagai pengontrol sosial, penghasil pengetahuan objektif, dan ruang kritis yang bebas dari intervensi kekuasaan. Seperti dikatakan Sulistiwati Irianto dari UI, relasi ini melanggar filosofi dan etika universitas.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ancaman terhadap integritas riset. Ketika kampus tunduk pada kepentingan politik, hasil penelitian pun bisa diarahkan untuk mendukung agenda kekuasaan, bukan kebenaran ilmiah.
Hal ini berbahaya, karena hasil riset kampus seharusnya menjadi dasar kebijakan publik yang adil dan berbasis bukti, bukan propaganda terselubung.
Mosi tak percaya mahasiswa UGM adalah suara peringatan dari generasi muda terhadap matinya keberanian moral kampus. Ini bukan hanya kritik terhadap rektorat, tetapi refleksi atas krisis yang lebih luas dalam dunia pendidikan tinggi kita: kampus kehilangan nyali, kehilangan nalar, dan kehilangan makna.
Sudah saatnya kampus-kampus di Indonesia kembali kepada jati dirinya. Menjadi ruang otonom yang tidak tunduk pada kekuasaan, menjadi wadah pembebasan yang memperjuangkan keadilan sosial, serta menjadi suara nurani ketika masyarakat dibungkam.
Tanpa itu semua, universitas hanyalah gedung kosong yang penuh gelar, tetapi hampa makna. (FR)