Apakah hakikat politik dalam sistem demokrasi –apakah ia sungguh dijalankan sebagai alat pelayanan publik, atau justru sekadar panggung pertunjukan untuk ambisi pribadi.

Dalam kenyataan hari ini, kita terlalu sering disuguhi tontonan politik yang dibalut janji-janji populis dan narasi-narasi megah nan kosong.

Tokoh-tokoh politik lebih menonjolkan gaya ketimbang isi, lebih sibuk merangkai simbol dan slogan ketimbang menata kebijakan yang menyentuh akar persoalan rakyat.

Ketika demokrasi kehilangan kesadaran kritis masyarakatnya, maka panggung politik dengan mudah dikuasai oleh para demagog –pemimpin yang lihai memainkan emosi massa, namun abai pada esensi kepemimpinan: melayani dan memperbaiki keadaan.

Nasionalisme pun ikut tereduksi menjadi alat kosmetik. Ia dibungkus dalam retorika dan simbolisme sempit, semata untuk membangkitkan kebanggaan semu. Kritik dicurigai, lawan politik dicap antek asing, dan aksi mahasiswa diberangus atas nama stabilitas.

Semua ini menunjukkan bahwa demokrasi yang seharusnya menjadi rumah kritik dan ruang akuntabilitas, pelan-pelan berubah menjadi dekorasi kosong: indah di luar, rapuh di dalam.

Refleksi ini mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak menjanjikan kemewahan instan. Demokrasi bukan mesin pencetak kesejahteraan cepat saji.

Ia adalah proses panjang dan penuh tantangan, yang hanya bisa menghasilkan perubahan nyata jika rakyat mau berpikir kritis, berani bersuara, dan menolak tertipu oleh narasi-narasi palsu.

Saat pemimpin dipilih karena suara lantangnya, bukan karena kejernihan pikir dan kebijakan; saat kritik ditukar dengan loyalitas buta; saat simbol menggantikan substansi, maka kita perlu bertanya: apakah demokrasi masih hidup, atau hanya tinggal nama? (FR)