Pada acara ground breaking Hotel Nusantara di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kamis (21/9/2023), banyak pengusaha besar RI yang hadir.
CNN Indonesia mencatat ada 8 pengusaha, antara lain: 1) Sugianto Kusuma, 2) Franky Wijaya, 3) Prajogo Pangestu, 4) Eka Tjandranegara, 5) Pui Sudarto, 6) Boy Thohir, 7) Kuncoro Wibowo, 8) Djoko Susanto.
Kehadiran mereka bukan sebatas seremonial, tetapi karena keterlibatannya dalam investasi IKN. Diketahui, Aguan dan rekan-rekannya membentuk konsorsium dengan investasi Rp 20 triliun di IKN. Atas dasar inilah, menarik untuk menelusuri lebih lanjut sosok pengusaha di balik investasi IKN.
Kali ini CNBC Indonesia bakal membahas tentang Djoko Susanto.
Nama Djoko memang jarang dikenal publik, meskipun perusahaannya sangat familiar, yakni Alfamart. Djoko atau Kwok Kwie Fo lahir di Jakarta, 9 Februari 1950. Kiprah bisnisnya bermula ketika dia lulus SMA pada 1966.
Awalnya dia mengawali kariernya di perusahaan perakitan radio sebagai pegawai biasa. Namun, karena tidak betah Djoko memilih membantu bisnis kelontong ibunya bernama Toko Sumber Bahagia di Petojo, Jakarta.
Penyuplai utama toko Sumber Bahagia adalah PT HM Sampoerna. Pabrik rokok itu menjadikan Sumber Bahagia sebagai distributor rokok Gudang Garam. Penjualan di sana mendapatkan hasil positif. Rokoknya laku keras di pasaran. Karena inilah, Djoko ditarik menjadi pegawai Gudang Garam di bawah naungan PT HM Sampoerna pada akhir 1986.
“Pertemuannya dengan Putera Sampoerna, bos PT HM Sampoerna akhir 1986 mengubah nasibnya secara total. Ia diangkat menjadi direktur penjualan PT Sampoerna yang membawa PT HM Sampoerna ke peringkat kedua terbesar setelah Gudang Garam,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa Di Indonesia (2008)
Kepiawaiannya memasarkan rokok membuatnya juga dipercaya menjadi direktur PT Panarmas yang menjadi distributor rokok Sampoerna. Di posisi inilah, Djoko turut serta memasarkan merek baru Sampoerna bernama Sampoerna A Mild di tahun 1989. Kelak, rokok ini menjadi salah satu yang populer di Indonesia.
Ketika memasarkan rokok baru inilah, Djoko mendirikan PT Alfa Retailindo pada 1989 usai mengubah gudang Sampoerna di Jl Lodan No. 80.
“Dengan modal Rp 2 miliar, gudang itu disulap menjadi Toko Gudang Rabat, dengan 40% saham dimiliki Puetera Sampoerna, dan sisanya dimiliki Kwok Kwie Fo (alias Djoko Susanto),” tulis Sam Setyautama
Toko Gudang Rabat itu jadi cikal bakal Alfa. Mulanya, difungsikan sebagai distributor rokok baru Sampoena, tetapi perlahan jadi toko kelontong yang menjual berbagai macam barang. Toko Gudang Rabat kemudian berkembang besar dan memiliki banyak cabang di beberapa kota Indonesia.
Pada tahun 1990-an, Gudang Rabat menjelma menjadi retail pesaing Indomaret bentukan Salim Group dengan memiliki 32 gerai. Namanya kemudian berubah menjadi Alfa Minimart di bawah PT Sumber Alfaria Triyaja pada 18 Oktober 1999.
Alfa Minimart berupaya mirip dengan Indomaret, yakni minimarket yang bisa dijangkau masyarakat secara dekat. Bangunan pertamanya di Jl. Beringin Raya, Tangerang. Keberadaan Alfa Minimart mendapat respons positif dari masyarakat. Penjualannya naik. Djoko segera dapat durian runtuh,
“Alfa dinyatakan go public pada 18 Januari 2000. Saat itu nilai kapitalisasi pasar Alfa ditaksir mencapai US$ 108,29 juta,” tulis buku Kaum Supertajir Indonesia (2008)
Sejak 1 Januari 2003, Alfa Minimart berubah menĀjadi Alfamart. Putera Sampoerna ikut menyuntikkan modalnya dan kemudian Alfamart beranak-pinak seperti sekarang. Gerainya mencapai ribuan 3.000 gerai. Setelah HM Sampoerna dijual kepada Phillips Morris, Alfa tidak bisa merasa nyaman menjual rokok Sampoerna lagi. Namun, Alfa tetap menjadi minimarket yang terbesar di banyak tempat.
Pada 2008, ketika Carrefour datang ke Indonesia sebagian gerai Alfa gudang rabat banyak yang diakuisisi. Meski begitu, Alfamart tak mati dan justru makin menjamur setelahnya, terutama di lini minimarket.
Alfamart tetap tumbuh sumbur menjadi jaringan minimarket terbesar di tanah air. Berkat ini Djoko pun makin kaya raya. Pada 2023 dia masuk ke dalam 10 orang terkaya di Indonesia dengan harta US$ 4,5 miliar atau Rp 66 triliun.
Source : CNBC Indonesia