Mengenal bahasa suku lain itu sebuah kenikmatan. Yang utama adalah kenikmatan silaturahmi.
Banyak wong Solo yang selain mahir bahasa Jawa, tapi juga bisa Madura, Minang, Sunda, dan lainnya. Hal itu karena di rumahnya ada keluarga yang menggunakan bahasa suku lain. Atau karena pergaulan pertemanan.
Bahkan orang Pasar Kliwon, selain bahasa Jawa, mereka bisa bahasa Arab. Orang kepunton atau Warung Miri selain bahasa Jawa, mereka juga bisa bahasa Cina. Beberapa keluarga intelek, selain bahasa Jawa, mereka berselang seling menggunakan bahasa Inggris, Perancis, atau Belanda. Semua tergantung kepada latar belakang keluarga masing-masing.
Alhamdulillah, selain bahasa Jawa, saya (ulun) juga bisa (kawak) berbahasa Banjar (Kalimantan Selatan). Kebisaan saya berbahasa Banjar karena keluarga, lingkungan, dan juga belajar melalui buku.
Kakek dan nenek saya dari Martapura, Kalimantan Selatan. Meski sudah berbahasa Jawa sehari-hari ketika tinggal di kota Solo dengan kami pada tahun 1960-an. Ada situasi khusus, beliau (sidin) menggunakan bahasa Banjar. Yaitu: waktu marah! Nah, selain takut, kami harus super perhatian apa yang beliau katakan.
Satu kata yang salah saja, bisa membikin sidin tambah marah. “Hati-hati kena tepacul!” Jawabannya bisa salah paham, “Nik, kon gawa pacul?” Nah ada dua kemungkinan, bisa sidin tambah muar (gusar), atau sebaliknya malah tergelak. “O dasar wong Jawa.”
Bahasa Banjar tepacul = terlepas, sedang kami mengira itu alat pacul. Ya gak nyambung!
Saya sering disuruh nenek ke warung Banjar di kelurahan Jayengan Solo. Saya sering berhenti sebentar memperhatikan para pelanggan bicara (bepender) dalam bahasa Banjar. Masyarakat keturunan Banjar di Solo kebanyakan pedagang emas dan intan-berlian.
Kadang ada juga mereka bermain catur. Nah kalo sudah bermain catur jadilah dua kelompok. Jadi macam arena ring tinju dengan dua jago sedang berlaga. Lucu-lucu yang mereka omongkan, sehingga membuat saya betah berdiri menonton permainan catur tersebut. Hal ini membuat saya dimarahi nenek atau ibuku karena tidak segera balik ke rumah.
Setelah besar, saya cari buku tata bahasa Banjar di kios buku loakan di belakang Sriwedari. Ternyata bahasa Banjar ada dua cengkok, satu bahasa Banjar kuala seperti saya pelajari, tapi ada juga bahasa Banjar pahuluan.
Di fesbuk saya punya dua teman Banjar, satu Mahmud Jauhari Ali dari Banjarbaru (kuala) dan Aliman Syahrani dari Kandangan (hulu). Keduanya sastrawan Banjar. Bahasa Banjar Aliman banyàk tidak saya mengerti. Namun bahasa Banjar Mahmud banyak saya pahami. Akhirnya saya sadar, cengkok bahasa Banjar saya dari Kuala (Banjarbaru dan Martapura itu dua kota yang gandeng).
Karena itulah, di waktu senggang saya baca dua buku itu. Saya juga sering baca cerpen, puisi, humor, serta mendengarkan lagu dalam bahasa Banjar di fesbuk. Semuanya sangat berguna bagi saya untuk meningkatkan penguasaan saya dalam berbahasa Banjar.
Penulis : Saiful Bahri, tinggal di Semarang